Rabu 05 Jul 2017 20:58 WIB

Tidak Ada Visa AS Bagi Pembuat Robot Asal Afghanistan Ini

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Tim Robot Afghanistan.
Foto: First Global/Youtube
Tim Robot Afghanistan.

REPUBLIKA.CO.ID, Fatimah Qaderyan merasa kebingungan sesaat setelah mendengar bahwa ia tidak mendapatkan visa perjalanan ke Amerika Serikat (AS). Perempuan asal Afghanistan itu hanya bisa kecewa karena tak dapat mengikuti acara kompetisi robot di Negeri Paman Sam, seperti apa yang sudah lama ia bayangkan.

Kebingungan Qaderyan semakin menjadi setelah mendengar tim dari Iran dan Sudan yang mengikuti kontes robot internasional di AS sudah mendapatkan visa. Perempuan berusia 14 tahun itu hingga saat ini belum mengetahui apa alasan pasti di balik tidak diberikannya izin perjalanan tersebut kepadanya.

"Kami masih belum tahu alasan mengapa kami tidak diberi visa karena negara lain yang mengikuti kontes robot di AS sudah mendapatkannya," ujar Qaderyan, dilansir The Guardian, Rabu (5/7).

Demikian juga dengan temannya, Lida Azizi. Perempuan berusia 17 tahun itu bernasib sama seperti Qaderyan. Ia tidak mendapatkan visa AS yang dapat mengantarkannya berpartisipasi dalam sebuah kompetisi internasional.

Kedua remaja Afghanistan itu adalah bagian dari tim robotika Afghanistan  yang beranggotakan enam orang. Qaderyan dan Azizi merupakan pembuat dari robot yang akan ditunjukkan dalam kompetisi internasional yang digelar di ibu Kota Washington DC, AS pada 16 hingga 18 Juli mendatang.

"Hampir semua negara dapat berpartisipasi dalam kompetisi robot di AS, namun kami dari Afghanistan tidak bisa, di mana ini secara jelas menjadi penghinaan," jelas Azizi.

Kejadian yang dialami oleh Qaderyan dan Azizi muncul di tengah kontroversi mengenai kebijakan imigrasi AS yang ditetapkan oleh Presiden Donald Trump. Di dalamnya dimuat aturan tentang larangan perjalanan bagi enam warga dari negara mayoritas Muslim.

Kebijakan imigrasi yang ditentang oleh sejumlah pemerintah dari negara bagian AS pertama kali dikeluarkan oleh Trump melalui perintah eksekutif pada 27 Januari lalu.  Pertama kali ada tujuh negara yang berada dalam daftar larangan perjalanan, yaitu Irak, Iran, Somalia, Suriah, Sudan, Libya, dan Yaman.

Namun, Irak kemudian dihapus dari daftar dengan alasan pemeriksaan visa melaui pemerintah negara itu telah dilakukan disertai pemberian data. Kebijakanmimigrasi AS direvisi oleh Trump pada 6 Maret dan secara resmi berlaku pada 16 Maret lalu.

Sejumlah negara bagian di AS menolak untuk menetapkan kebijakan imigrasi tersebut, Di antaranya adalah Hawaii yang upaya untuk mencabut larangan perjalanan secara permanen dilakukan dengan mengajukan gugatan ke pengadilan banding.

Namun, Pemerintah AS melakukan upaya peninjauan ke Mahkamah Agung. Hingga kemudian, kebijakan imigrasi yang ditetapkan oleh Trump dapat diteruskan dan secara resmi berlaku mulai pada 29 Juni lalu.

Meski demikian, Mahkamah Agung AS dalam putusannya menyatakan bahwa kebijakan imigrasi yang memuat larangan perjalanan bagi enam warga dari negara mayoritas Muslim untuk datang ke negara itu tidak berlaku sepenuhnya. Terdapat ketentuan khusus yang memungkinkan mereka tetap dapat memasuki wilayah negara adidaya itu.

Berdasarkan putusan, para pemohon visa dari enam negara yang berada dalam daftar larangan harus memiliki hubungan dekat atau formal dengan individu atau entitas di AS untuk mendapatkan izin masuk.

Aturan ini berlaku untuk 90 hari ke depan dan bagi mereka yang berstatus sebagai pengungsi 120 hari. Tahap lanjut dari kebijakan imigrasi ini nantinya diputuskan pada Oktober.

Tetapi, yang perlu digaris bawahi dalam kasus yang menimpa Qaderyan dan Azizi adalah Afghanistan tidak termasuk dalam daftar enam negara yang dilarang melakukan perjalanan ke AS. Departemen Luar Negeri AS juga menolak untuk berkomentar karena masalah yang berkaitan dengan visa individu tidak boleh dibahas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement