Senin 10 Jul 2017 15:39 WIB

Ketika Konstantinopel Berganti Ankara, Belajar Memindahkan Ibu Kota dari Turki

Salah satu keindahan di sudut kota Istanbul, Turki. (ilustrasi)
Ibu Kota Turki, Ankara.

Tidak mudah bagi Ankara mencatatkan diri sebagai ibu kota bagi sebuah negara yang sebagian besar masyarakatnya adalah Muslim, sementara sekuler menjadi paradigma dalam menjalankan pemerintahan.

Ankara setidaknya pernah menjadi saksi bagi merahnya revolusi sekaligus ancaman teroris yang kerap kali mendatangkan citra sebagai kota yang tidak aman. Tercatat beberapa kali bom meledak di berbagai sudut di kota itu. Bahkan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi menyebut Turki sebagai laboratorium dalam hal tantangan terorisme.

Ia menilai Turki memiliki tantangan berat karena memiliki posisi yang sangat strategis dalam artinya banyak sekali "Foreign Tourist Fighters" (FTF) yang pergi ke Suriah melalui Turki.

"Selain itu, juga karena letak geografisnya yang berdekatan dengan Suriah sehingga menerima banyak sekali pengungsi dari Suriah yang jumlahnya lebih dari dua juta orang," ujarnya.

Ankara sekaligus pernah menjadi saksi bagi sakit hatinya rakyat Turki saat Presiden Erdogan membangun Beyaz Saray atau White Palace di pinggiran kota itu dengan anggaran yang mencengangkan. Sementara budget negara bagi pendidikan masyarakatnya justru diabaikan.

Namun, Erdogan berkeras pembangunan Beyaz Saray itu merupakan upaya nyata pemerintahannya untuk membangun eksistensi. Kini, siapapun yang ke Turki tak hanya ingin menginjakkan kakinya di Ankara, namun bekas ibu kota Istanbul adalah impian lain untuk dikunjungi.

Wajar jika geliat pariwisata Turki menjadi cara lain bagi negeri yang menjadi tempat berakhirnya Dinasti Utsmaniyah itu untuk memacu gerak ekonominya.

Maka berkaca pada Turki, nyatanya tidaklah mudah memindahkan ibu kota. Ia perlu waktu hingga hampir satu abad untuk menjadikan segalanya berjalan seperti yang diinginkan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement