Ahad 10 Sep 2017 17:46 WIB

Korut Rayakan Keberhasilan Uji Coba Nuklir

Rep: PUTI ALMAS/ Red: Winda Destiana Putri
Nuklir Korea Utara.
Foto: Reuters/Damir Sagolj
Nuklir Korea Utara.

REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Pemimpi Korea Utara (Korut) Kim Jong-un mengadakan sebuah perayaan yang digelar secara besar-besaran atas klaim keberhasilan uji coba perangkat nuklir terbaru yang dilakukan negara itu pada 3 September lalu. Ia bermaksud memberikan selamat kepada para ilmuwan dan teknisi yang berada di balik itu. 

Perayaan itu juga diselenggarakan hanya sesaat setelah Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa uji coba program nuklir terbaru Korut menyebabkan krisis terburuk di Semenanjung Korea. Dunia telah mengecam Korut atas pengembangan senjata berbahaya itu dan memberi tekanan kuat. 

Sejumlah foto yang menunjukkan kemeriahan acara itu juga dirilis oleh kantor berita resmi Korut KCNA. Beberapa diantaranya memperlihatkan Kim Jong-un menggelar jamuan makan serta pertunjukan seni.

Tak ketinggalan, ia juga membuka sesi foto dengan para ilmuwan nuklir terkemuka di negaranya yaitu diketahui sebagai Ri Hong-sop, kepala institut senjata dan Hong Sung-mu, wakil direktur departemen industri amunisi Korut. Kim Jong-un tampak tersenyum lebar dan sangat bersukacita.

"Kami memperingati sebuah peristiwa besar dalam sejarah nasional negara ini dan dalam acara sangat besar ini kami sepenuhnya merayakan apa yang disebut sebagai keberhasilan sempurna," ujar Kim Jong-un dalam pembukaan acara itu, dirilis oleh KCNA, Ahad (10/9).

Selama ini, Korut mengatakan pengembangan program nuklir merupakan alat pertahanan utama. Namun, sejumlah negara di kawasan Semenanjung Korea khususnya Korea Selatan (Korsel) dan Jepang terus merasa khawatir karena menjadi ancaman utama serangan rudal dan senjata berbahaya lainnya.

Dalam dua bulan terakhir, Korut telah melakukan serangkaian uji coba ICBM yang diklaim sukses. Dimulai pada 4 Juli lalu, di mana saat itu rudal yang dikenal dengan nama Hwasong-14 tersebut juga dikatakan mampu membawa hulu ledak nuklir besar dan menjangkau daratan AS, khususnya wilayah Alaska. 

Kemudian, dalam uji coba selanjutnya yang juga membuat kehebohan dunia terjadi pada 28 Juli lalu. Uji coba Hwasong-14 dilakukan dan diyakini memiliki jangkauan dan kekuatan lebih tinggi. Rudal itu mencapai ketinggian 2314,6 dan terbang sejauh 620 mil hingga akhirnya mendarat di perairan pantai timur Semenanjung Korea. 

Pada 28 Agustus, uji coba rudal yang dianggap jauh lebih serius dan membahayakan juga dilakukan Korut. Saat itu, senjata ini menempuh jarak hingga 2700 kilometer dan melewati wilayah udara di atas Hokkaido, Jepang.

Kemudian dalam uji coba terbaru pada 3 September lalu, Korut meluncurkan bom hidrogen yang dirancang untuk ditempatkan dalam Peluru Kendali Balistik Antar Benua (ICBM).  Ini disebut sebagai keberhasilan dari tujuan negara itu sejak lama untuk menempatkan hulu ledak nuklir sebagai alat persenjataan mereka. 

Negara terisolasi itu menuturkan bahwa tes bom hidrogen tersebut menjadi yang keenam kalinya dilakukan sejak 2006. Korut dapat mengklaim kesuksesan besar, karena kali ini persenjataan nuklir mereka berkembang dan memiliki kemampuan dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya.

Dewan Keamanan PBB kemudian melakukan pembahasan atas uji coba bom hidrogen yang dilakukan Korut pada 4 September. AS sebagai salah satu negara anggota tetap mengatakan tindakan keras diperlukan mengatasi hal ini. Melalui Duta Besar Nikki Haley, pihaknya mendesak sanksi paling kuat harus diberikan dan ia hendak mengedarkan resolusi terbaru untuk memenuhi langkah itu.

Resolusi yang kali ini diajukan oleh AS kali ini menyerukan agar aset dari Kim Jong-un dapat dibekukan secara keseluruhan dan ia akan diberi larangan bepergian. Kemudian, larangan memasok berbagai produk mintak ke Korut, serta membeli ekspor tekstilnya. 

Meski demikian, resolusi ini kemungkinan tidak akan didukung oleh dua anggota Dewan Keamanan PBB yaitu Rusia dan Cina. Kedua negara sebelumnya menyatakan sanksi yang lebih keras untuk Korut tidak akan efektif dan menyerukan agar penyelesaian masalah dilakukan melalui perundingan.

Selama ini, Rusia dan Cina juga diketahui sebagai negara pemasok minyak ke Korut. Salah satu kekhawatiran mengapa kedua pihak tidak menginginkan sanksi keras terhadap negara di Asia Timur itu adalah kemungkinan besar langkah tersebut justru berdampak kepada warga sipil.

Presiden Rusia Vladimir Putin sebelumnya mengatakan bahwa mengurangi pasokan minyak ke Korut hanya akan memperburuk kondisi warga sipil di negara itu. Ia mencontohkan bagaimana banyak orang di sana yang bergantung pada sumber daya tersebut dan pada akhirnya menderita karena suatu hal yang bukanlah kesalahan mereka.

Demikian dengan Cina yang berpendapat bahwa tindakan keras untuk menghadapi Korut hanya akan memicu kekacauan lebih besar. Negeri Tirai Bambu menegaskan bahwa tidak akan membiarkan adanya perang di Semenanjung Korea.

sumber : Center
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement