Kamis 14 Sep 2017 20:23 WIB

Enam Bentuk Intimidasi Terhadap Muslim di Myanmar

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Warga Muslim Rohingya, yang menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh, mengumpulkan air hujan di kamp pengungsi Balukhali, Bangladesh, Rabu (13/9).
Foto: AP
Warga Muslim Rohingya, yang menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh, mengumpulkan air hujan di kamp pengungsi Balukhali, Bangladesh, Rabu (13/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Burma Human Rights Network (BHRN) menemukan enam temuan bentuk intimidasi yang diterima oleh kaum minoritas Muslim di Myanmar dalam penelitian terbarunya. Salah satunya, warga etnis Rohingya di Rakhine harus menerima pembatasan akses pendidikan dan kesehatan yang diterapkan oleh pemerintah.

"Pada Juni dan Oktober 2012, di negara bagian Rakhine terjadi kekerasan terhadap 150 ribu warga sipil. Sebagian besarnya Muslim Rohingya dan mereka masuk ke kamp pengungsi. Mereka mengalami pembatasan akses terhadap pendidikan dan perawatan kesehatan dari pemerintah," kata Direktur Eksekutif BHRN Kyaw Win di The Wahid Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (14/9).

Kyaw Win meneruskan, terdapat pula blokade akses untuk Muslim oleh beberapa rumah sakit. Pihak rumah sakit, bahkan dokternya, menolak melakukan perawatan darurat karena mereka bukan berasal dari etnis atau agama yang sama dengan mereka. "Itu jelas merupakan pelanggaran yang jelas terhadap hukum HAM," kata dia.

Dia melanjutkan, Muslim yang berada di luar kamp tersebut juga harus merasakan sulitnya melalui pembatasan perjalanan. Pengurungan umat Islam tersebut, menurut Kyaw Win, juga memperkuat anggapan bahwa mereka merupakan ancaman bagi keamanan dan perlu dikendalikan.

"Itu dapat menjadi dasar untuk memungkinkan terjadinya kekerasan (terhadap mereka) di masa depan," kata dia.

Persoalan kedua, yaitu sulitnya mendapatkan kartu identitas sebagai warga negara bagi kaum Muslim di Myanmar. Di bawah hukum Myanmar, Kyaw Win menerangkan, warga negara harus memperbaharui kartu identitas mereka pada usia yang sudah ditentukan. Berdasarkan temuan BHRN, terdapat penolakan yang sistematis bagi Muslim yang ingin membuat kartu identitas yang dikenal sebagai NRC (National Registration Card) itu.

"Cara penolakannya bervariasi. Tapi, yang sering dilaporkan itu perihal persyaratan yang diberikan untuk umat Muslim luas dan seringkali sulit didapat. Seperti dokumentasi yang membuktikan silsilah keluarga sejak tahun 1824," kata Kyaw Wib.

Penolakan pembuatan NRC tersebut, Kyaw Win mengatakan, memberikan implikasi material dan ideologis. "Seseorang yang gagal menunjukkan NRC saat diminta oleh polisi atau otoritas lainnya cenderung menghadapi pelecehan, dan hukuman denda, atau penjara, atau keduanya," lanjut dia.

Persoalan ketiga, menurut laporan tersebut, pihak berwenang di Myanmar melarang atau memblokir membangun kembali masjid yang telah rusak. Kyaw Win menyebutkan, sejumlah besar masjid di Myanmar telah rusak atau hancur seluruhnya dalam beberapa tahun terakhir.

"Penolakan akses kelompok agama ke suatu tempat pemujaan itu bertentangan dengan hak fundamental dalam kebebasan berekspresi dan beragama. Itu tampaknya merupakan strategi untuk menolak ekspresi religius bagi umat Islam," terang Kyaw Win.

Selanjutnya, BHRN juga menemukan adanya intoleransi agama di Myanmar. Pada suatu hari besar keagamaan di Januari 2017, di mana sekitar 300 orang berkumpul di Yangon, diberitahu umat Islam telah sengaja melakukan pemerkosaan dan pembunugan anggota agama lain. Kala itu, turut hadir pula biksu U Soita.

"Penyedia tempat acara kemudian membatalkan acara tersebut di detik-detik akhir. Hal serupa terjadi di Divisi Bago, Kota Pyay. Kegiatan keagamaan juga dibatalkan menyusul tekanan dari kelompok nasionalis setempat," kata dia.

Tema persoalan berikutnya, menurut Kyaw Win, adanya penyebaran desa yang ‘bebas’ Muslim. Menurut laporan BHRN, dia menyebutkan, telah terjadi peningkatan tajam jumlah desa yang ada di Myanmar yang menyatakan diri mereka sebagai zona larangan terbang bagi umat Muslim.

Setidaknya, BHRN menemukan ada 21 desa yang menerapkan hal itu. "Di mana penduduk setempat, dengan izin dari yang bersangkutan, pihak berwenang, telah memasang papan tanda peringatan agar umat Islam tidak masuk ke wilayahnya," kata dia.

Persoalan yang keenam, yaitu peluncuran operasi militer melawan Rohingya di negara bagian Rakhine. Pada 9 Oktober 2016, tiga pos polisi di bagian Utara Rakhine diduga telah diserang. Menanggapi hal tersebut, militer Myanmar mengerahkan pasukan ke wilayah tersebut dan mulai menyaou desa Rohingya.

"Di mana helikopter tempur dan, menurut beberapa saksi yang diwawancarai oleh BHRN, granat berpeluncur roket atau mortir digunakan," lanjut dia.

Untuk diketahui, laporan ini merupakan hasil wawancara BHRN dengan 360 responden dalam delapan bulan masa penelitian. Testimoni dari semua itu diambil dari 46 kota dan desa yang terdapat di seluruh Myanmar.

Hasil penelitian BHRN tersebut juga menyebutkan lima butir rekomendasi untuk pemerintah Myanmar. Butir pertama, BHRN menyarankan pemerintahnya harus menerima dan sepenuhnya bekerja sama dengan Tim Pencari Fakta Dewan HAM PBB sebagaimana yang telah dimandatkan.

Berikutnya, penunjukkan ras dan agama harus dihapus dari semua kartu identitas di sana. Butir ketiga, BHRN menyarakan untuk batasan perjalanan bagi orang Rohingya harus segera dihapus.

Selanjutnya, pemerintah Myanmar diminta untuk mencabut apa yang disebut undang-undang Perlindungan Ras dan Agama. Terakhir, pemerintah Myanmar diharapkan menarik semua pasukan dari daerah Rohingya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement