Senin 18 Sep 2017 07:11 WIB

Menlu AS Sebut Negaranya Bisa Dukung Kesepakatan Iklim Paris

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Dwi Murdaningsih
Terumbu karang Great Barrier Reef di Australia memutih dan kehilangan penutupnya akibat badai, perubahan iklim dan ledakan populasi bintang laut berduri
Foto: REUTERS
Terumbu karang Great Barrier Reef di Australia memutih dan kehilangan penutupnya akibat badai, perubahan iklim dan ledakan populasi bintang laut berduri

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson pada Ahad (17/9) mengatakan AS dapat tetap berada dalam kesepakatan iklim Paris di bawah kondisi tertentu. Pernyataan Tillerson ini menandakan pergeseran sikap dari pemerintahan Presiden Donald Trump.

Sebelumnya AS telah membuat sekutu-sekutunya marah karena memutuskan untuk membatalkan kesepakatan tersebut. Menurut Tillerson, Presiden Trump bersedia bekerja sama dengan mitranya dalam kesepakatan Paris jika AS dapat membangun situasi yang adil dan seimbang untuk warga Amerika.

 

"Presiden mengatakan, dia terbuka untuk situasi yang memaksa kita untuk terlibat dengan orang lain mengenai isu yang kita semua sepakati masih merupakan isu yang menantang," kata Tillerson, dalam acara Face Nation di CBS.

 

Penasihat Keamanan Nasional Trump, H.R. McMaster, memiliki pendapat serupa. Dalam acara This Week di ABC pada Ahad (17/9), dia mengatakan Trump selalu bersedia mempertimbangkan perubahan terkait kesepakatan iklim.

 

"Dia membiarkan pintu terbuka untuk masuk kembali di lain waktu jika ada kesepakatan yang lebih baik untuk Amerika Serikat. Jika ada kesepakatan yang menguntungkan rakyat Amerika, tentu saja," kata McMaster.

 

Kesepakatan iklim Paris, yang dicapai oleh hampir 200 negara pada 2015, dimaksudkan untuk membatasi pemanasan global hingga 2 derajat atau kurang pada 2100. Pengurangan ini dilakukan melalui janji untuk mengurangi karbon dioksida dan emisi lainnya dari pembakaran bahan bakar fosil.

 

Trump telah memenuhi janji kampanyenya untuk mundur dari kesepakatan iklim ini pada Juni lalu. Dia mengumumkannya dengan singkat, "Kami akan keluar."

 

Trump mengatakan, kesepakatan tersebut akan melemahkan ekonomi AS dan kedaulatan nasional. Keputusannya menimbulkan kemarahan dan kecaman dari para pemimpin dunia.

 

Dibutuhkan empat tahun bagi sebuah negara untuk menarik diri dari kesepakatan Paris. AS akan tetap berada dalam kesepakatan tersebut sampai dua hari setelah masa jabatan pertama Trump berakhir.

 

Sebelumnya, pada Sabtu (16/9), The Wall Street Journal melaporkan pejabat pemerintahan Trump mengatakan AS tidak akan menarik diri dari kesepakatan tersebut. AS bahkan telah menawarkan diri untuk terlibat kembali dalam kesepakatan tersebut.

 

Namun McMaster menolak laporan tersebut dan menyebutnya tidak akurat. "AS keluar dari kesepakatan iklim Paris," katanya dalam program Fox News Sunday.

 

Tillerson mengatakan Gary Cohn, penasihat ekonomi utama Trump, sedang mengawasi masalah ini. "Jadi menurut saya, rencana direktur Cohn adalah untuk mempertimbangkan cara lain untuk bekerjasama dengan mitra di Paris Climate Accord. Kami ingin produktif, kami ingin membantu," ujar Tillerson.

 

Trump mengatakan kesepakatan Paris sangat memudahkan negara-negara pencemar utama seperti Cina dan India, yang menempatkan industri AS pada risiko besar. Namun presiden dari Partai Republik itu telah menunjukkan fleksibilitasnya dan beberapa sekutu AS telah bersikap vokal mengenai pentingnya kesepakatan iklim.

 

Pada sebuah konferensi pers pada Juli lalu bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron di Paris, Trump membuka pintu pembalikan keputusannya. "Sesuatu bisa terjadi sehubungan dengan kesepakatan Paris. Mari kita lihat apa yang terjadi," kata Trump.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement