Rabu 20 Sep 2017 07:01 WIB

Negara Barat Saling Serang dalam Kesepakatan Nuklir Iran

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
    Fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr di Iran.
Foto: Sot Akbar/ISNA/AP
Fasilitas pembangkit listrik tenaga nuklir Bushehr di Iran.

REPUBLIKA.CO.ID,NEW YORK -- Para pemimpin negara Barat beradu argumen dengan sengit saat membahas mengenai aktivitas nuklir Iran dalam sidang Majelis Umum PBB di New York, Selasa (19/9). Amerika Serikat (AS) dan Israel mencela kesepakatan nuklir internasional dengan Teheran, tetapi Prancis justru mempertahankannya.

Dalam penampilan perdananya di Majelis Umum PBB, Presiden AS Donald Trump menuduh Iran telah menyebabkan kekerasan, pertumpahan darah, dan kekacauan. Menurut Trump, Iran juga berusaha memproyeksikan pengaruhnya di Yaman, Suriah, dan tempat lain yang penuh konflik sektarian antara Muslim Sunni dan Syiah.

"Kami tidak bisa membiarkan sebuah rezim pembunuh melanjutkan kegiatan yang mendestabilisasi ini sambil membangun rudal berbahaya, dan kami tidak dapat mematuhi sebuah kesepakatan yang memberikan perlindungan untuk pembangunan program nuklir," kata Trump dalam pidatonya pada pertemuan tersebut.

Trump menyindir kesepakatan nuklir antara Iran dan enam kekuatan dunia pada 2015. Dalam kesepakatan itu, Teheran setuju untuk membatasi program nuklirnya dengan imbalan pelonggaran sanksi ekonomi. Kesepakatan tersebut dinegosiasikan selama masa pemerintahan mantan Presiden AS Barack Obama dari Partai Demokrat, yang kebijakannya sering dikritik oleh Partai Republik Trump. "Kesepakatan Iran adalah salah satu kesepakatan terburuk dan paling sepihak yang pernah dilakukan Amerika Serikat. Terus terang, kesepakatan itu merupakan hal yang memalukan bagi Amerika Serikat," ujar Trump.

Sebaliknya, Presiden Prancis Emmanuel Macron justru memuji kesepakatan tersebut. Selama pidatonya ia mengatakan Prancis tidak dapat meninggalkan kesepakatan Iran. "Menghentikannya akan menjadi kesalahan besar, tidak menghormatinya akan menunjukkan rasa tidak bertanggung jawab, karena ini adalah kesepakatan bagus yang penting untuk perdamaian," ujarnya.

Macron dan negara lain yang mendukung kesepakatan tersebut mengatakan pelemahan atau penghilangan kesepakatan nuklir hanya akan memperparah situasi wilayah. Hal ini juga dapat menghalangi Korea Utara (Korut) untuk bisa melakukan negosiasi mengenai program nuklirnya.

Iran kemudian menanggapi ucapan Trump dengan marah. "Ucapan kebencian Trump yang bodoh dan seharusnya ada di abad pertengahan- bukan Abad ke-21 PBB - tidak layak mendapat jawaban," ujar Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif yang juga juru runding utama Iran dalam kesepakatan nuklir.

Presiden AS harus memutuskan apakah Iran telah mematuhi pakta tersebut, pada 15 Oktober mendatang. Jika tidak, Kongres AS mendapatkan waktu 60 hari untuk memutuskan apakah akan kembali menjatuhkan sanksi berdasarkan kesepakatan tersebut.

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu juga mengundurkan diri dalam kesepakatan nuklir Iran. Namun pejabat Israel secara pribadi mengakui, membatasi program nuklir Iran lebih baik daripada tidak sama sekali. "Ubah atau batalkan. Perbaiki atau hapuskan," kata Netanyahu dalam pidatonya di Majelis Umum PBB.

Kesepakatan nuklir Iran pada 14 Juli 2015 bertujuan untuk memperpanjang jumlah waktu yang secara teoritis akan mengizinkan Iran untuk menghasilkan bahan fosil yang cukup guna membuat bom atom. Netanyahu khawatir, setelah pembatasan program nuklir Iran berakhir dalam 10 sampai 15 tahun, Teheran akan berada dalam posisi siap mengembangkan senjata atom.

Pemerintahan Obama mengatakan kesepakatan tersebut akan memastikan penelitian jangka panjang Iran dapat mencegahnya mengembangkan sebuah bom. Pandangan ini yang disuarakan oleh Macron saat dia menjelaskan pemantauan yang dilakukan oleh badan pengawas nuklir Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

Kesepakatan nuklir Iran dinegosiasikan oleh Iran bersama AS, Rusia, Cina, Inggris, Jerman, dan Prancis. Keenam negara tersebut dijadwalkan akan bertemu dengan Iran pada pertemuan tingkat menteri pada Rabu (20/9).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement