Selasa 26 Sep 2017 16:46 WIB

Pengakuan Pemimpin Milisi Rohingya yang Pilih 'Mati Cepat'

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Teguh Firmansyah
Muslim Rohingya, yang menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh, membawa seorang wanita tua masuk dalam keranjang dan berjalan menuju sebuah kamp pengungsi di Shah Porir Dwip, Bangladesh, Kamis, (14/9).
Foto: AP/ Dar Yasin
Muslim Rohingya, yang menyeberang dari Myanmar ke Bangladesh, membawa seorang wanita tua masuk dalam keranjang dan berjalan menuju sebuah kamp pengungsi di Shah Porir Dwip, Bangladesh, Kamis, (14/9).

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Wakil Komandan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) Muhammad Rafik duduk bersila. Sekelompok kecil orang Rohingya berkerumun di sekitar pria berusia 30 tahun yang berjanggut pendek tersebut.

Mereka adalah rekan senegaranya, jauh dari rumah di  Rakhine. Mereka mengungsi ke Bangladesh. Rafik mengatakan, ia adalah Wakil Komandan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA), pasukan militan yang memicu gelombang kekerasan terbaru dan menimbulkan tindakan keras oleh militer Myanmar.

Dia mengklaim berada di sana pada 25 Agustus, untuk sebuah serangan mematikan di tengah malam ke sebuah pos terdepan tentara, berperang bersama 50 orang lain dari desanya.

"Mati cepat lebih baik daripada mati perlahan. Mereka telah menyiksa kita dari hari ke hari jadi kita tidak punya pilihan lain. Itu sebabnya kami bertindak," kata Rafik seperti dilansir Channel News Asia, Selasa, (26/9).

ARSA tahu ini akan terjadi. Serangan terkoordinasi yang dilakukan oleh kelompok pejuang ARSA diikuti di seluruh negara bagian. Sejak saat itu, ratusan desa milik etnis Rohingya telah dibakar dan lebih dari 400 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri melintasi perbatasan ke Bangladesh. Anggota ARSA, terang Rafik, tersebar di antara orang-orang diasingkan.

"Kami bersatu dan kami memutuskan untuk melakukan ini," ujarnya.

Dia tidak dapat memastikan berapa banyak yang bertahan. Namun  ia yakin bahwa kepemimpinan kelompok tersebut sebagian besar masih utuh. ARSA hanya memakai senjata seadanya, kurang terlatih, kurang banyak anggotanya.

Ini adalah misi mematikan bagi pejuang dan populasi Rohingya. Militan ARSA lainnya, Abul Alam mengatakan, dunia perlu melihat penyiksaan dan penderitaan yang telah etnis Rohingya alami di bawah Pemerintah Myanmar.

"Kami tidak pernah berpikir bahwa kami akan menjadi pengungsi di Bangladesh. Tapi sejujurnya, kami memang berpikir kalau kami menyerang militer Myanmar maka mereka pasti menyerang balik. Kemudian dunia akan melihat dan mengetahui apa yang sedang terjadi dengan Rohingya," ujar Alam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement