Selasa 10 Oct 2017 13:50 WIB

Ketakutan Pengungsi Suriah Diusir dari Jerman

Pengungsi Suriah di Jerman
Foto: diplo.de
Pengungsi Suriah di Jerman

REPUBLIKA.CO.ID, "Kenapa kamu di sini? Kembalilah ke negaramu sendiri," seorang pria di jalan pernah berteriak pada Hussam Al Zaher dan saudaranya Samer, yang sedang mengenakan jilbab.

Kedua saudara kandung asal Suriah ini telah menjelajahi kampung halaman baru Hussam, Hamburg. Sejak pindah ke Jerman pada Oktober 2015, membangun kembali hidupnya dari nol merupakan perjuangan berat.

"Saya pikir ini adalah ketakutan yang tidak diketahui," kata Al Zaher seperti dilansir Aljazirah, Senin (9/10).

Menurutnya, kebanyakan orang yang membenci pengungsi tidak benar-benar mengenal para pencari suaka. Jerman telah menjadi negara Eropa yang paling banyak menerima pengungsi.

Dalam pemilihan federal bulan September, Kanselir Angela Merkel kembali menjabat untuk keempat kalinya. Namun kemenangannya dibayangi oleh partai anti-pengungsi dan anti-Muslim, Alternative for Germany (AfD) yang memperoleh 12,6 persen suara. AfD adalah partai sayap kanan pertama yang memasuki Bundestag (parlemen Jerman) pascaperang.

"Saya mendengar banyak tentang bangkitnya ekstremisme sayap kanan di Jerman, dan ini membuat saya merasa tidak yakin dengan masa depan saya di sini," kata Al Zaher.

Zaher melarikan diri dari Damaskus pada Oktober 2014. Setelah setahun bekerja keras selama 15 jam sehari di sebuah pabrik pakaian di Istanbul, dia memulai perjalanan berbahaya yang dilakukan puluhan ribu orang Suriah lainnya

Setelah menyeberangi Laut Aegea dengan kapal yang penuh sesak ke Yunani, dia melakukan perjalanan ke rute Balkan. Sepanjang jalan, Al Zaher bertemu dengan sesama pengungsi lainnya yang berasal dari Irak, Afghanistan, Suriah, Iran. Mereka terikat oleh satu harapan yakni kehidupan yang lebih baik daripada negara asalnya.

Zaher merupakan satu dari 1,3 juta pencari suaka yang telah tiba di Jerman sejak tahun 2015. "Awal memang sangat sulit. Saya merasa kesepian, saya tidak bisa bahasa Jerman dan tidak terlalu lancar bahasa Inggris," kenangnya.

Suatu hari, Zaher menerima surat balasan dari orang asing yang memintanya kembali ke Suriah. Ia menilai Zaher menghancurkan negaranya dengan budaya yang dibawa Zaher.

Tapi pemuda Suriah itu dengan teguh meyakini bahwa komunikasi dapat menghancurkan kesalahpahaman yang ada. Sehingga Zaher meluncurkan majalah digital "Fluchtling", Jerman untuk pengungsi.

"Saya ingin mereka melihat bahwa kita adalah manusia, sama seperti mereka. Berpandangan terbuka terhadap orang lain dan budaya bisa menjadi sulit, tapi kita bisa mencapai penerimaan melalui rasa hormat dan diskusi," katanya.

Zaher percaya sebagian besar pemilih AfD bukan ekstremis sayap kanan, melainkan warga Jerman yang merasa takut kepada Muslim yang menurut mereka memiliki budaya dan cara berpikir berbeda.

Sementara itu, pengungsi Afghanistan Sahar Reza mengatakan butuh waktu - seringkali bertahun-tahun -untuk memahami pasar kerja Jerman, budaya dan untuk belajar bahasa Jerman.

Pria berusia 29 tahun itu lahir di Kabul, Afghanistan, dan dibesarkan di Pakistan. Dia tiba di Jerman pada November 2014. Dia menyelesaikan kursus integrasi, di mana dia belajar bahasa Jerman, dan telah mendaftarkan diri ke pusat pekerjaan untuk mendapatkan pekerjaan. "Saya harap saya memperoleh pekerjaan untuk membangun kehidupan mandiri di sini," katanya.

Reza mengaku memahami perasaan orang Jerman yang merasa frustrasi dan terasing karena mereka bekerja dan membayar pajak untuk orang lain dalam waktu yang lama.

Menyediakan pencari suaka makanan, perumahan, dan kursus bahasa Jerman sangat mahal. Menurut kementerian keuangan, tahun lalu, pemerintah federal menghabiskan 21,7 miliar euro untuk menangani krisis pengungsi. Untuk tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan 21,3 miliar euro.

Beberapa proyek kini telah bergabung dalam usaha membantu pengungsi menetap dan merasa betah. Menurut Kantor Migrasi dan Pengungsi Federal dari Januari sampai Agustus tahun ini, 123.878 pencari suaka tiba di Jerman. Dari jumlah tersebut, hampir seperempatnya berasal dari Suriah, diikuti oleh orang Irak dan Afghanistan.

Pada 2016, 280 ribu pencari suaka tiba di Jerman, sementara pada 2015, pada puncak krisis pengungsi, 890 ribu orang menyeberangi perbatasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement