Kamis 12 Oct 2017 15:27 WIB

Militer Myanmar Sebut Rohingya Pulang Kampung, Bukan Ngungsi

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Nur Aini
Sejumlah pengungsi Rohingya antri untuk mendapatkan paket makanan dari relawan Indonesia di Kamp Pengungsian Kutupalong, Cox Bazar, Bangladesh, Minggu (1/10).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Sejumlah pengungsi Rohingya antri untuk mendapatkan paket makanan dari relawan Indonesia di Kamp Pengungsian Kutupalong, Cox Bazar, Bangladesh, Minggu (1/10).

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Panglima militer Myanmar, Min Aung Hlaing menilai pemberitaan terkait jumlah pengungsi Rohingya yang dilakukan media terlalu berlebihan. Dia mengatakan, operasi militer dilakukan dengan memperhitungkan pengungsi seminimal mungkin.

Dia menuding media melakukan propoganda yang memojokkan dan dapat memicu kemarahan penduduk Myanmar. "Berlebihan jika mengatakan jumlah pengungsi ke Bangladesh sangat besar," kata Min Aung Hlaing di akun Facebook pribadinya seperti dikutip Dailymail, Kamis (12/10).

Kata-kata yang dilontarkan Min Aung Hlaing menggunakan istilah yang merendahkan etnis Rohingya. Istilah tersebut mengklasifikasikan Rohingya sebagai imigran ilegal.

Sejauh ini, lebih dari 520 ribu warga Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh dimulai dari operasi militer pada 25 Agustus kemarin. Angka tersebut diperkirakan terus bertambah menyusul masih ada gelombang pengungsi yang terus menyeberang ke Bangladesh.

Meski demikian, Min Aung Hlaing mengatakan, etnis Roingnya sebenarnya bukan pergi meninggalkan Myanmar. Mereka, kata dia, sebenarnya pulang ke kampung halaman masing-masing.

"Tempat asal orang Bengali adalah Bengal. Mereka mungkin telah melarikan diri ke negara lain dengan bahasa, ras, dan budaya serupa dan beranggapan lebih aman di sana," katanya.

Dia mengatakan, lagi pula Rohingya merupakan penduduk yang memang datang dari Bangladesh saat masa penjajahan Inggris. Mereka, dia mengatakan, tidak memiliki klaim yang sah di tanah Myanmar atas keturunannya.

Sementara berdasarkan laporan Dewan HAM PBB, menyebut operasi militer pemerintah Myanmar menjadi langkah strategis untuk memastikan etnis Rohingya keluar dari negeri itu. Kesimpulan itu didapatkan Dewan HAM PBB usai mewawancarai 65 pengungsi Rohingya di Bangladesh.

PBB menilai tindakan militer yang dilakukan sangat terorganisasi, terkordinasi, dan sistematik. Operasi itu dimulai sebelum serangan pemberontakan terhadap pos polisi pada 25 Agustus lalu, mulai dari pembunuhan, penyiksaan, dan pemerkosaan anak-anak.

PBB berkeyakinan pasukan Myanmar sengaja menghancurkan harta benda hingga membakar tempat tinggal warga di Rakhine utara. Tidak hanya untuk mengusir penduduk secara massal tapi juga mencegah mereka yang melarikan diri untuk kembali ke rumah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement