Kamis 19 Oct 2017 13:18 WIB

AS: Krisis Rohingya Jadi Ujian Pemerintah Myanmar

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson.
Foto: REUTERS/Kevin Lamarque
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson mengatakan, militer Myanmar bertanggung jawab atas krisis Rohingya yang tengah terjadi. Menurutnya, krisis tersebut telah menjadi ujian nyata bagi Pemerintah Myanmar.

"Situasi saat ini adalah ujian nyata dari pembagian kekuasaan pemerintahan ini," ujar Tillerson dalam sebuah pidato seraya meminta militer Myanmar menentukan arah untuk masa depan negara tersebut seperti dikutip laman Anadolu Agency, Kamis (19/10).

 

Saat ini Pemerintahan Myanmar memang terbagi menjadi dua kubu, yakni antara militer dan sipil. Kepemimpinan sipil dari pemerintahan Myanmar dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Kendati demikian, militer dinilai lebih mendominsasi kendali atas negara tersebut.

 

Oleh sebab itu,Tillerson meminta agar pihak militer mulai mengambil sikap bijak merespons krisis Rohingya yang saat ini menjadi salah satu krisis kemanusiaan terbesar.

 

"Apa yang kami dorong untuk dilakukan militer Myanmar adalah pertama, kami mengerti bahwa Anda memiliki elemen pemberontak (Rohingya) serius di dalam wilayah negara Anda dan juga harus Anda hadapi, namun Anda harus disiplin mengenai bagaimana Anda menghadapinya. Anda pun harus menahan diri dalam bagaimana Anda menghadapinya," kata Tillerson.

 

Menurutnya, militer Myanmar juga tak perlu menutup atau memblokir akses bagi siapapun yang hendak datang ke wilayah-wilayah yang menjadi titik krisis. "Anda harus mengizinkan aksis di wilayah ini lagi sehingga kita bisa mendapatkan perhitungan penuh mengenai situasinya," ucapnya menerangkan.

 

Tillerson mengungkapkan, AS telah mampu membawa beberapa staf kedutaannya ke negara bagian Rakhine untuk menilai situasi di sana. Ia menekankan, Washington terus mendesak akses agen bantuan ke daerah yang penuh konflik.

 

Lebih dari setengah juta etnis Rohingya telah meninggalkan Rakhine, Myanmar, dan melarikan diri ke Bangladesh. Mereka mengungsi setelah militer Myanmar menggelar operasi di desa-desa tersebut untuk meringkus militan ASRA (Tentara Pembebasan Rohingya Arakan) pada 25 Agustus. Sebelumnya ASRA dilaporkan menyerang pos keamanan Myanmar dan menyebabkan polisi dan tentara tewas.

 

Kendati demikian, operasi militer Myanmar di Rakhine untuk membekuk militan ASRA tampaknya hanya menjadi dalih. Sebab dalam praktiknya, mereka lebih banyak menyerang warga sipil secara brutal daripada menyisir wilayah tersebut guna menemukan militan ASRA.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement