Rabu 25 Oct 2017 08:01 WIB

AS Pertimbangkan Sanksi untuk Myanmar

Rep: Kamran Dikarma, Marniati/ Red: Elba Damhuri
 Sebuah foto diambil dari video yang dirilis oleh UNHCR pada 16 Oktober, menunjukkan ribuan pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar tiba di perbatasan Anjuman, Bangladesh.
Foto: Roger Arnold/UNHCR via AP
Sebuah foto diambil dari video yang dirilis oleh UNHCR pada 16 Oktober, menunjukkan ribuan pengungsi muslim Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar tiba di perbatasan Anjuman, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) mempertimbangkan sanksi untuk Myanmar. Ancaman sanksi ini merupakan respons AS berkaitan dengan perlakuan dan tindakan brutal militer Myanmar terhadap etnis Rohingya di negara bagian Rakhine.

"Kami mengungkapkan keprihatinan kami yang paling serius dengan kejadian baru-baru ini di negara bagian Rakhine dan kekerasan, keganasan, pelecehan traumatis terhadap Rohingya telah terjadi," kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Heather Nauert, seperti dilansir the Guardian, Selasa (24/10).

Departemen Luar Negeri AS menyatakan, Washington siap menjatuhkan sanksi kepada Myanmar atas perlakuan mereka kepada etnis Rohingya. "AS mengambil langkah dan mempertimbangkan serangkaian tindakan lebih lanjut mengenai perlakuan Myanmar terhadap minoritas Muslim Rohingya, termasuk sanksi berdasarkan Undang-Undang (UU) Global Magnitsky-nya," katanya.

UU Global Magnitsky memberi wewenang kepada Presiden AS untuk mencabut dan memblokir visa milik orang atau entitas asing dan menjatuhkan sanksi properti kepada mereka. Sanksi dijatuhkan bila individu atau pihak terkait terbukti melakukan pembunuhan, penyiksaan, dan pelanggaran berat lainnya yang diakui secara internasional.

"Pemerintah Burma, termasuk angkatan bersenjata, harus segera mengambil tindakan untuk memastikan perdamaian dan keamanan; menerapkan komitmen untuk memastikan akses kemanusiaan kepada masyarakat yang sangat membutuhkan; memfasilitasi kepulangannya yang aman dan sukarela dari orang-orang yang telah melarikan diri atau telah dipindahkan ke negara bagian Rakhine; dan mengatasi akar penyebab diskriminasi sistematis terhadap Rohingya," kata Nauert.

"Langkah-langkah diambil termasuk mengakhiri keringanan perjalanan untuk anggota militer saat ini dan mantan anggota militer Myanmar, serta unit pembatasan dan petugas di negara bagian Rakhine utara dari bantuan AS," katanya.

"Kami pun telah membatalkan undangan untuk pasukan keamanan senior Myanmar untuk menghadiri acara yang disponsori AS. Kami bekerja sama dengan mitra internasional untuk mendesak Myanmar membuka akses tanpa hambatan ke wilayah yang relevan untuk misi pencarian fakta PBB, organisasi kemanusiaan internasional, serta media," ujar Departemen Luar Negeri AS menambahkan.

Departemen Luar Negeri AS menegaskan, semua pihak yang terlibat dalam kasus kekerasan dan penyiksaan, bahkan pembunuhan terhadap Rohingya, bertanggung jawab. "Sangat penting bahwa setiap individu atau entitas yang bertanggung jawab atas kekejaman, termasuk aktor non-negara dan warga negara, diminta pertanggungjawaban," ujarnya.

Pernyataan dari Departemen Luar Negeri AS ini dirilis menjelang rencana kunjungan Presiden AS Donald Trump ke Asia Tenggara awal November. Trump dijadwalkan menghadiri konferensi puncak ASEAN di Manila, Filipina.

Pernyataan terbaru yang dipublikasikan Departemen Luar Negeri AS sekaligus menjadi respons terkuat Washington atas terjadinya krisis Rohingya. Sementara itu, sejumlah diplomat dan pejabat Pemerintah AS yang berbasis di Washington, Eropa, dan Yangon, telah mengungkapkan bahwa tindakan hukuman yang ditujukan khusus kepada para jenderal tertinggi di Myanmar adalah satu di antara serangkaian opsi yang dibahas guna merespons krisis Rohingya.

Adapun bentuk hukuman untuk para jenderal dapat mencakup pembekuan aset dan pelarangan warga AS untuk bermitra atau berbisnis dengan mereka.

Sebanyak 43 anggota parlemen AS telah mendesak pemerintahan Trump untuk mengajukan kembali larangan perjalanan AS untuk para pemimpin militer Myanmar. Termasuk menyiapkan sanksi terhadap mereka yang bertanggung jawab atas terjadinya krisis Rohingya.

Operasi militer Myanmar di Rakhine telah menyebabkan lebih dari setengah juta Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Krisis pengungsi Rohingya kini menjadi salah satu krisis kemanusiaan terparah di dunia.

Sementara itu, PBB telah menggelar konferensi donor internasional untuk pengungsi Rohingya di Jenewa, Swiss, Senin (23/10). Pada acara tersebut, PBB mengklaim bahwa pemerintah dari berbagai negara, termasuk lembaga bantuan internasional, siap menyumbang bantuan finansial dengan total dana mencapai 335 juta dolar AS.

"Pemerintah dan lembaga donor internasional telah berjanji untuk menyumbangkan total 335 juta dolar AS untuk pengungsi Rohingya yang telah melarikan diri ke Bangladesh," ungkap Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi, Filippo Grandi.

Sedangkan Arab Saudi, yang diwakili oleh Pusat Bantuan dan Kemanusiaan Raja Salman (KSARelief), berjanji untuk mengeluarkan dana 20 juta dolar AS untuk menyelesaikan krisis pengungsi Rohingya. Kepala KSARelief, Dr Yahya al-Shammari, mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada Kuwait dan Uni Eropa karena mengadakan konferensi kunci untuk mendapatkan bantuan kemanusiaan mendesak bagi Muslim Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan di Myanmar.

(Idealisa Masyrafina, Editor: Yeyen Rostiyani)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement