Rabu 15 Nov 2017 17:26 WIB

Museum Holokaus AS Perkuat Laporan Genosida Rohingya

Rep: Marniati/ Red: Teguh Firmansyah
Ribuan pengungsi muslim Rohingya bertahan di perbatasan, setelah tentara Bangladesh melarang mereka bergerak menuju kamp pengungsian di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).
Foto: AP/Dar Yasin
Ribuan pengungsi muslim Rohingya bertahan di perbatasan, setelah tentara Bangladesh melarang mereka bergerak menuju kamp pengungsian di Palong Khali, Bangladesh, Selasa (17/10).

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON --  Museum Holokaus Amerika Serikat mengatakan, terdapat bukti yang meningkat tentang genosida di Myanmar. Ini setelah penyelidikan yang dilakukan selama satu tahun dengan kelompok Hak Asasi Asia Tenggara atau Fortify RightsGroup. Hasil penyelidikan tersebut menunjukan kekejaman terhadap Muslim Rohingya yang dianiaya.

Seperti dilansir dari The Guardian, Rabu (15/11), laporan yang diterbitkan pada Rabu ini dibuat berdasarkan wawancara dengan lebih dari 200 Rohingya dan pekerja bantuan.

Mereka mengatakan pasukan keamanan Myanmar melakukan kampanye kekerasan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekerasan meluas dan sistematis mulai Oktober 2016 dan berlanjut pada Agustus tahun ini.

Menurut laporan tersebut, hampir satu juta orang Rohingya diusir dari rumah mereka di negara bagian Rakhine utara ke negara tetangga Bangladesh menyusul serangan di desa-desa yang mencakup pembunuhan massal, pemerkosaan dan pembakaran.

"Kejahatan yang diperinci dalam laporan ini mengindikasikan kegagalan pemerintah Myanmar dan juga masyarakat internasional untuk melindungi warga sipil dari kekejaman massal secara serius," tulis laporan tersebut.

Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyebut kekerasan di Rakhine sebagai pembersihan etnis namun tidak menyebut kata genosida, sebuah definisi hukum yang mengharuskan para pemimpin global untuk mengambil tindakan berdasarkan Konvensi Genosida.

Genosida didefinisikan sebagai sasaran yang disengaja dari sebuah komunitas untuk penghancuran secara keseluruhan atau sebagian.

"Fakta-fakta yang tercantum dalam laporan ini menunjukkan bahwa pasukan keamanan negara menargetkan kelompok Rohingya dengan beberapa tindakan yang disebutkan dalam hukum genosida," kata laporan tersebut.

Seorang manajer program untuk pusat Simon-Skjodt dari Museum Holokus Andrea Gittleman mengatakan, kekejaman yang terjadi saat ini menuntut tanggapan yang tegas untuk menghentikan kejahatan. Termasuk mencegah kekejaman di masa depan, dan meminta pertanggungjawaban pelaku.

Seorang juru bicara pemerintah Myanmar tidak dapat dihubungi untuk menyampaikan komentarnya terkait hal ini. Namun pemerintah dan tentara telah dengan keras membantah tuduhan tersebut dengan mengatakan militan Rohingya bertanggung jawab atas pembantaian yang terjadi.

CEO dan pendiri Fortify Rights, Matthew Smith mengatakan Rohingya menghadapi ancaman eksistensial

meskipun belum ada keputusan akhir mengenai genosida.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement