Kamis 16 Nov 2017 08:50 WIB

AS: Sanksi Terhadap Myanmar tak Selesaikan Krisis Rohingya

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson.
Foto: REUTERS/Kevin Lamarque
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson.

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson mengatakan dia belum akan memberikan sanksi kepada Myanmar terkait krisis pengungsi Rohingya. Namun dia telah meminta penyelidikan independen yang kredibel atas tuduhan tentara Myanmar melakukan kekejaman terhadap minoritas Muslim tersebut.

Tillerson melakukan perjalanan satu hari ke Myanmar untuk bertemu dengan pemimpin de facto Aung San Suu Kyi dan panglima militer Min Aung Hlaing, pada Rabu (15/11). Setelah pertemuan itu, ia mengatakan sanksi ekonomi bukan solusi yang disarankan untuk saat ini.

"Kami ingin melihat Myanmar berhasil. Anda tidak bisa menjatuhkan sanksi dan mengatakan krisis sudah berakhir," katanya kepada wartawan dalam konferensi pers bersama Suu Kyi.

Namun dia mengatakan Washington sangat prihatin dengan laporan mengenai adanya kekejaman yang meluas yang dilakukan oleh pasukan keamanan dan warga Myanmar. AS mendesak Myanmar untuk menerima penyelidikan independen atas tuduhan tersebut.

"Adegan yang terjadi di luar sana sangat mengerikan," tambah Tillerson, dikutip South China Morning Post.

Pemerintahan Suu Kyi menolak laporan tentang kekejaman mereka dan menolak memberikan masukan kepada penyelidik PBB. Washington telah berhati-hati untuk mengkritik pemerintahan sipil Suu Kyi yang berusia masih muda, serta militer yang mengendalikan semua kebijakan keamanan.

"Saya tidak diam. Orang mengatakan kata-kata saya tidak menarik. Tapi saya tidak ingin mengatakan sesuatu yang menarik, saya mengatakan sesuatu yang akurat, agar orang tidak saling bertengkar," jelasnya.

AS adalah sekutu utama dalam transisi demokrasi Myanmar yang pada akhirnya membawa Suu Kyi ke jabatan state counselor pada 2016. Hal ini mengakhiri lima dekade peraturan junta yang brutal di Myanmar.

Di bawah konstitusi yang dirancang junta militer, mereka mengendalikan kementerian keamanan, termasuk perbatasan dan pertahanan. Mereka juga mempertahankan hak veto secara de facto pada setiap perubahan konstitusional.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement