Jumat 17 Nov 2017 10:57 WIB

HRW: Militer Myanmar Perkosa Wanita Rohingya

Sejumlah warga Rohingya beraktivitas di kamp pengungsian internal Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Minggu (3/9).
Foto: Antara/Willy Kurniawan
Sejumlah warga Rohingya beraktivitas di kamp pengungsian internal Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Minggu (3/9).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Marniati dan Rizkyan Adiyudha

Perkosaan dinilai menjadi metode kampanye genosida militer Myanmar.

Human Rights Watch (HRW) menuduh pasukan keamanan Myanmar melakukan pemerkosaan terhadap perempuan dan anak perempuan sebagai bagian dari kampanye pembersihan etnis selama tiga bulan terakhir terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.

Tuduhan yang disampaikan oleh kelompok hak asasi manusia yang berbasis di New York ini melengkapi tuduhan serupa yang disampaikan utusan khusus PBB tentang kekerasan seksual dalam konflik, Pramila Patten. Ia mengatakan, kekerasan seksual diperintahkan, diatur, dan dilakukan oleh Angkatan Bersenjata Myanmar.

HRW mewawancarai 52 perempuan dan gadis Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh. Sebanyak 29 di antaranya mengatakan, mereka telah diperkosa.

"Pemerkosaan telah menjadi ciri menonjol dan menghancurkan kampanye pembersihan etnis Myanmar terhadap Rohingya," kata peneliti hak-hak perempuan di HRW dan penulis laporan, Skye Wheeler.

Ia mengatakan, tindakan kekerasan militer Myanmar telah menyebabkan banyak perempuan dan anak perempuan terluka dan mengalami trauma mendalam. HRW meminta Dewan Keamanan PBB untuk memberlakukan embargo senjata ke Myanmar dan menargetkan sanksi terhadap pemimpin militer yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kekerasan seksual.

DK PBB yang beranggotakan 15 orang tersebut, pekan lalu, mendesak Pemerintah Myanmar untuk memastikan tidak ada penggunaan kekuatan militer berlebihan di negara bagian Rakhine. "Hal tersebut meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk melaporkan kembali dalam 30 hari mengenai situasi tersebut," katanya.

Myanmar mengatakan, operasi pembersihan militer diperlukan untuk keamanan nasional setelah militan Rohingya menyerang 30 pos keamanan dan sebuah pangkalan militer di negara bagian Rakhine. Operasi militer pada 25 Agustus mendorong eksodus besar-besaran warga Rohingya ke Bangladesh.

Hala Sadak yang berusia 15 tahun dari Desa Hathi Para di Kotapraja Maungdaw mengatakan kepada HRW bahwa ia telah diperkosa oleh 10 orang tentara.

"Ketika saudara laki-laki dan perempuan saya datang untuk menjemput saya, saya terbaring di sana, di tanah. Mereka mengira saya sudah mati," katanya.

Militer Myanmar merilis sebuah laporan pada Senin yang menolak semua tuduhan pemerkosaan dan pembunuhan oleh pasukan keamanan, beberapa hari setelah mengganti jenderal yang bertanggung jawab atas operasi yang membuat lebih dari 600 ribu Muslim Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh. PBB mengecam kekerasan tersebut sebagai contoh klasik pembersihan etnis. Pemerintah Myanmar membantah tuduhan pembersihan etnis.

Tudingan genosida juga dialamatkan oleh Burmese Rohingya Organisation yang berbaris di Inggris. "Warga Rohingya menghadapi genosida abad 21 dan kita harus menentang itu. Langkah Amerika dan komunitas internasional masih belum cukup," kata President of Burmese Rohingya Organisation yang berbasis di Inggris, Tun Khin, seperti dikutip Aljazirah, Kamis (16/11).

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson telah bertemu pemimpin de facto Myanmar, Aung San Suu Kyi. AS mempertimbangkan untuk memberikan sanksi individual terhadap pejabat militer berdasarkan informasi yang kuat dan dapat dipercaya atas keterlibatan mereka kepada warga Rohingya.

Tillerson meminta penyelidikan dilakukan oleh lembaga independen. Tapi, Tun Khin mengaku khawatir hal tersebut tidak bisa dilaksanakan. Ini lantaran milter Myanmar menjaga ketat kawasan Rohingya dan tidak memperbolehkan pencari fakta masuk ke kawasan tersebut.

Chief Executive Officer Fortify Rights Matthew Smith mengatakan, kejahatan terhadap warga Rohingya telah berkembang dan tak terjangkau hukum. Dia mengatakan, hal tersebut lantas tidak mendapat tindakan signifikan dari dunia internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement