Selasa 21 Nov 2017 07:31 WIB

Trauma, Anak-Anak Irak Ingin Hidup Lebih Baik

Seorang anak kecil dari kelompok minoritas Yazidi Irak terusir akibat ISIS.
Foto: nydailynews.com
Seorang anak kecil dari kelompok minoritas Yazidi Irak terusir akibat ISIS.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGDAD -- Bertahun-tahun kerusuhan bergelimang darah, pengungsian, perpecahan masyarakat dan krisis politik telah menimbulkan dampak kejiwaan dan fisik besar pada anak-anak Irak. Namun, kekalahan kelompok garis keras ISIS dari kubu kota terakhir mereka di Irak member harapan sangat besar bahwa akhirnya cahaya menyinari kehidupan mereka.

"Ingatan mengerikan mengenai kehancuran dan perampasan serta mayat yang tercabik dan berceceran di jalan, dan tempat pembunuhan keluarga, kerabat serta teman mereka takkan bisa hilang dari ingatan puluhan ribu anak Irak," kata Mohammed At-Timimi, Profesor Sosiologi di Universitas Mustansriyah di Ibu Kota Irak, Baghdad.

Dia mengatakan bahaya dari ingatan semacam itu ialah meninggalkan dampak emosi dan kejiwaan dan telah meningkatkan kerentanan mereka. Pola kekerasan dan kebencian mungkin akan tertinggal dan mempengaruhi prilaku masa depan mereka saat mereka memasuki usia dewasa. Menurut At-Timimi, lingkaran kerusuhan, pengungsi dan kemiskinan memaksa banyak keluarga Irak mendorong anak mereka agar meninggalkan sekolah dan mencari kerja, yang kebanyakan tidak cocok buat kemampuan fisik, mental dan kesehatan mereka.

Baghdad Umumkan Irak Bebas dari ISIS

Gerak maju kelompok garis keras IS di Ramadi, Ibu Kota Provinsi Anbar di Irak Barat, telah mendesak Maher (9 tahun) dan ibunya, Saja (36), mengemis di pasar dan di luar masjid di Permukiman Khadraa di Baghdad Barat.

Ibu Maher meninggalkan keluarga mereka di Kota Fallujah yang dikuasai ISIS setelah petempur garis keras menguasai kota tersebut pada 2014. Suaminya tewas dalam kerusuhan sekitar dua tahun lalu. Wanita itu dan tiga anaknya menyelamatkan diri ke Khadraa dan tinggal di satu ruang di satu gedung yang sedang dibangun.

Tempat tinggal mereka sekarang hanya memiliki satu kamar, tapi cukup bersih, dengan kaca jendela yang pecah ditutupi lemari kayu, dan lantainya dilapisi karpet tua yang sudah tercabik serta satu kloset di ujung ruangan. Dapur tempat tinggalnya berada di luar dengan hanya satu kompor dan lemari tua.

"Ini lah semua yang kami miliki, meskipun ini tidak cukup saat udara sangat menggigit pada musim dingin dalam beberapa hari. Dengan bantuan orang di sekitar sini, anak-anak saya dan saya bisa mendapatkan pakaian robek yang masih bisa dipakai."

Suami Saja, seorang guru sekolah dasar di Fallujah, tewas pada awal 2015 oleh peluru mortir selama bentrokan antara militer Irak dan petempur ISIS yang menguasai kota itu.

"Sebelum kematiannya, kami dulu memiliki rumah sendiri dan saya mau anak-anak bisa bersekolah agar terdidik dan memperoleh hidup senang," kata perempuan tersebut dengan air mata menggenang di matanya.

"Saya harus pergi. Hidup tak mungkin di Fallujah di bahwa gerilyawan ISIS. Suami saya meninggal dan perempuan tak memiliki hak untuk bekerja. Anak-anak saya dan saya memerlukan perlindungan, sedangkan kebanyakan kerabat saya menghadapi kesulitan yang sama," katanya.

Meskipun hampir 17 bulan telah berlalu sejak pasukan Irak membebaskan Kota Fallujah, Saja tak bisa pulang setelah ia menyadari bahwa rumahnya hancur dan hidup sulit di sana sebab prasarana dan ekonomi kota tersebut masih berjuang untuk bertahan hidup.

Putra tertuanya, Maher, berharap bisa meyakinkan ibunya agar mengizinkan dia bekerja sebagai pekerja bangunan dan bukan bersekolah seperti anak sebayanya agar ia bisa membantu ibunya dan adik-adiknya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement