Sabtu 25 Nov 2017 00:47 WIB

Repatriasi Pengungsi Rohingya Harus Dipantau Dunia

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Budi Raharjo
Anak laki-laki Rohingya Nabi Hussain yang menyelamatkan diri dari tentara Myanmar dengan berenang dengan jeriken.
Foto: AP
Anak laki-laki Rohingya Nabi Hussain yang menyelamatkan diri dari tentara Myanmar dengan berenang dengan jeriken.

REPUBLIKA.CO.ID,YANGON -- Organisasi hak asasi manusia, internasional Human Rights Watch (HRW), menyerukan agar proses repatriasi pengungsi Rohingya dapat dipantau oleh badan internasional. Hal tersebut dilakukan guna memastikan Myanmar benar-benar menjalankan tanggung jawabnya, termasuk menjamin keamanan serta keselamatan Rohingya.

Direktur Hak Pengungsi HRW Bill Frelick mengatakan dirinya masih tergelitik mengetahui bahwa Myanmar akan dengan tangan terbuka menerima kembali ratusan ribu pengungsi Rohingya dari Bangladesh. Menurutnya, kesepakatan yang telah dicapai oleh Myanmar dengan Bangladesh terkait repatriasi harus benar-benar dipantau pelaksanaannya.

"Masyarakat internasional harus memperjelas hal ini, bahwa tidak akan ada pengembalian (pengungsi) tanpa pantauan dunia internasional guna memastikan keamanan, diakhirinya gagasan untuk menempatkan orang-orang yang kembali ke kamp, pengembalian lahan, serta pembangunan kembali rumah dan desa yang dihancurkan," ujar Frelick, Jumat (24/11) seperti ditulis Reuters.

Terkait hal ini, Direktur HRW untuk Pengungsi dan Hak Asasi Manusia Charmain Mohamed justru menilai pembicaraan tentang pemulangan kembali pengungsi Rohingya masih terlalu dini untuk dibahas. Sebab gelombang pengungsi Rohingya ke Bangladesh masih terus berlangsung. Di sisi lain, PBB dan masyarakat internasional benar-benar masih absen terkait hal ini.

Sementara itu, badan pengungsi PBB (UNHCR) berpendapat penting untuk memastikan jaminan keamanan dalam proses repatriasi pengungsi Rohingya. Proses pemulangan ini juga harus dilakukan dengan kesediaan dari para pengungsi. "Penting agar standar internasional berlaku dan kami siap membantu," kata juru bicara UNHCR Adrian Edwards.

Kendati demikian UNHCR menilai saat ini kondisi di negara bagian Rakhine masih belum kondusif untuk dimulainya proses repatriasi. "Kondisi di Rakhine tidak di tempat yang memungkinkan untuk pengembalian (pengungsi) yang aman dan berkelanjutan," kata UNHCR dalam sebuah pernyataan.

Hal ini cukup memicu kekhawatiran. Sebab dalam kesepakatan yang telah tercapai antara Myanmar dan Bangladesh terkait repatriasi memang belum tercakup pembahasan tentang perlindungan terhadap Rohingya dari potensi kekerasan lebih lanjut oleh militer Myammar.

Terlebih lagi, tidak ada pembicaraan tentang status kewarganegaraan Rohingya bila nantinya mereka kembali ke Rakhine. Status kewarganegaraan cukup penting karena sebagian besar masyarakat Myanmar menganggap Rohingya adalah imigran ilegal.

Faktor-faktor ini yang dicemaskan oleh para pengungsi Rohingya. Sayer Hussein (55 tahun), misalnya, mengaku tidak akan kembali jika kondisi di Rakhine masih belum aman. "Kami akan kembali jika mereka tidak mengganggu kita dan jika kita bisa tinggal dan hidup seperti Buddhis serta etnis lainnya," ujarnya.

Selain Hussein, masih banyak pengungsi Rohingya yang mencemaskan hal serupa. Mereka mengaku siap untuk pulang ke daerahnya masing-masing dengan syarat keamanan dan keselamatannya terjamin.

Pemerintah Myanmar dan Bangladesh telah menandatangani kesepakatan tentang proses repatriasi pengungsi Rohingya pada Kamis (23/11). Proses repatriasi akan dimulai dalam waktu dua bulan. Dalam kurun waktu tersebut, Bangladesh dan Myanmar akan menbentuk tim gabungan guna mengimplementasikan kesepakatan yang telah tercapai.

Saat ini terdapat lebih dari 600 ribu pengungsi di Bangladesh. Mereka melarikan diri dari Rakhine, Myanmar, sejak militer menggelar operasi di daerah tersebut pada 25 Agustus lalu. Dalam operasinya, militer Myanmar disebut membantai penduduk Rohingya dan membakar permukimannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement