Kamis 07 Dec 2017 17:32 WIB

Derita Anak Rohingya, Terkapar karena Kelaparan

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Seorang wanita pengungsi Rohingya menggendong anaknya di Kamp Pengungsian Kutupalong, Cox Bazar, Bangladesh.
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Seorang wanita pengungsi Rohingya menggendong anaknya di Kamp Pengungsian Kutupalong, Cox Bazar, Bangladesh.

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR -- Mahmoud Rohan, seorang bayi pengungsi Rohingya berusia tujuh bulan, terbaring lemas dengan suhu badan yang cukup tinggi. Ia menunggu di bawah sinar matahari yang terik di kamp pengungsian Balukhali, Bangladesh.

"Saya mengkhawatirkan dia. Dia demam kemarin malam tapi saya tidak bisa meminta pertolongan. Saya disuruh datang ke sini," kata ibunya, Roshida Begum (25 tahun) di ruang tunggu sebuah pusat skrining malnutrisi, dikutip The Independent.

 

Bersama dengan ratusan ribu pengungsi lainnya yang melarikan diri dari Myanmar, Begum berjuang mendapatkan makanan bagi ia dan bayinya. Meski di Bangladesh mereka aman dari kekerasan, ancaman lain mulai mengintai, yaitu kelaparan dalam skala yang mengkhawatirkan.

 

Petugas kesehatan menduga Mahmoud kecil, yang saat itu mengenakan kemeja olahraga merah besar, menderita gizi buruk akut. Yang dia makan di kamp tempatnya dan keluarganya tinggal selama dua bulan, hanya beberapa sendok makan nasi yang dicampur gula.

 

Di rumahnya di Kota Maungdaw di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Begum tidak dapat menyusui Mahmoud dengan benar. Ia hanya bisa memberi makan Mahmoud dengan air beras.

 

Saat petugas kesehatan memeriksanya, lingkar lengan atasnya yang kurus menunjukkan tingkat keparahan kondisinya. Di sekelilingnya, ibu-ibu lain, beberapa mengenakan niqab hitam, juga duduk di bangku sambil memegangi bayi mereka yang bernasib sama.

 

Pengungsi lainnya, Sadril Amin (8) yang berpakaian compang-camping, terlihat membawa adik perempuannya Boila Amin yang masih berusia 16 bulan untuk diperiksa. Menurutnya, ibu mereka sakit dan ayah mereka ada di pasar.

 

UNICEF menyatakan, hampir seperempat dari semua anak pengungsi Rohingya di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh menderita gizi buruk. Mereka berusia antara enam bulan sampai lima tahun.

 

Lebih buruk lagi, sekitar 7,5 persen dari semua anak, sekitar 17 ribu menderita gizi buruk akut yang cukup parah. Sebanyak 40 persen dari seluruh pengungsi yang melarikan diri ke Bangladesh adalah anak-anak yang sangat rentan terhadap kelaparan.

 

Dibandingkan dengan anak-anak yang sehat, anak-anak yang menderita gizi buruk sembilan kali lebih mungkin meninggal dunia karena infeksi umum. Selain efek yang terlihat pada tubuh, kondisinya menyebabkan imunitas melemah yang berarti anak-anak menjadi jauh lebih rentan terhadap penyakit lain.

 

"Jika seorang anak kekurangan gizi, mereka dapat dengan mudah menderita diare atau pneumonia dan harus dirujuk ke rumah sakit," kata Charles Erik Haider, seorang dokter dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

 

Dalam perjalanan berbahaya ke Bangladesh, sebagian besar pengungsi bertahan hanya dengan satu kali makan dalam sehari atau kurang. Banyak dari mereka yang makan vegetasi dan minum dari genangan air dan sungai.

 

"Saya harus minum air dari kolam yang dibuat oleh hujan di musim hujan," kata Mohammad Hassim (25) dari gubuknya yang baru dibangun di sisi lain kamp pengungsian Balukhali.

 

Dia mengaku tidak makan selama delapan hari terakhir saat melalukan perjalanan yang sulit ke Bangladesh. Ia hampir tiga minggu bersembunyi di perbukitan dan jatuh sakit.

 

Di kamp-kamp pengungsian, bantuan makanan didistribusikan oleh Angkatan Darat Bangladesh dan Program Pangan Dunia. Mereka diberi nasi, lentil, dan minyak setiap dua minggu, namun banyak anak-anak yang masih berjuang untuk bisa makan dengan benar.

 

Terlepas dari bahaya kekurangan gizi, banyak ibu-ibu Rohingya yang tidak menyadari kekurangan makanan bergizi akan menjadi masalah kesehatan mendasar. Hal ini menyebabkan penyakit lain pada anak-anak mereka.

 

"Tidak banyak pemahaman nutrisi yang mereka ketahui. Kita perlu meningkatkan kesadaran seputar makanan. Pendidikan adalah kuncinya," ungkap Haider.

 

 

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement