Kamis 14 Dec 2017 00:03 WIB

New Delhi Hadapi Krisis Udara Beracun Parah

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Ani Nursalikah
Warga Delhi menyeberangi jalanan di New Delhi yang tersaput kabut asap.
Foto: Cathal McNaughton/Reuters
Warga Delhi menyeberangi jalanan di New Delhi yang tersaput kabut asap.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- New Delhi sedang menghadapi keadaan darurat kesehatan masyarakat yang belum pernah terjadi sebelumnya karena pencemaran udara. Beberapa tindakan yang dilakukan pemerintah ibu kota India itu seperti memancarkan air ke udara atau uji coba yang dianggap aneh, yaitu kebijakan membatasi penggunaan mobil pada hari-hari tertentu seperti tak berguna.

Tindakan pemerintah tersebut dipandang sebagai hanya sebagai kepentingan politik, bukan untuk mengendalikan akar permasalahan. Puncak polusi itu terjadi saat musim dingin, di mana ini adalah saatnya panen di Delhi. Pada waktu ini para petani membakar jerami sisa panen dan segala residu pertanian lainnya dan memompa asap ke atmosfer.

Sementara pada malam yang dingin membuat lebih banyak kayu dan kotoran sapi yang dibakar untuk menghangatkan diri, sedangkan kecepatan angin yang rendah membuat asap yang tak sehat itu bertahan di udara.

Pada 5 Desember, pertandingan kriket antara India dan Sri Lanka di stadion Feroz Shah Kotla terpaksa dihentikan karena polusi udara. Para pemain mengeluhkan udara yang pengap membuat mereka nyaris tidak bisa bernapas dan menyebabkan mereka muntah.

Namun, semua polusi itu dihasilkan oleh permintaan masyarakat untuk kehidupan mereka sehari-hari, makanan, kehangatan dan mobilitas. Jutaan produsen menghasilkan polusi, namun hanya sedikit yang bertanggung jawab mengendalikannya. 

Karena sumbernya begitu menyebar, tidak cukup hanya fokus pada beberapa pabrik besar atau pembangkit listrik. Peran masyarakat luas akan sangat penting dalam perjuangan membersihkan udara beracun di Delhi.

Dalam situasi seperti ini dibutuhkan tindakan antipolusi yang realistis sepanjang tahun, daripada membiarkannya hingga pada puncaknya yang berakhir setiap musim semi. Namun, rencana ini tidak bisa difokuskan pada kota itu saja, karena polusi Delhi jug terpengaruh dari daerah sekitarnya. Delhi tidak memiliki angin laut yang membantu mendorong emisi kota yang datang dari Mumbai atau Kolkata.

Selain itu, Delhi juga telah mencapai tingkat kejenuhannya. Ketika India merdeka pada 1947, kota ini memiliki penduduk hampir satu juta jiwa.

Sekarang, menurut laporan PBB yang dikutip Asian Correspondent, Rabu (13/12), wilayah perkotaan saja sudah menghasilkan lebih dari 10 juta penduduk. Belum lagi tantangan lima tahun ke depan yang diprediksi penduduknya mencapai 30 juta jiwa. Hal itu berarti pasokan rumah, energi dan transportasi tidak dapat memenuhi permintaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement