Jumat 15 Dec 2017 16:09 WIB

Warga Rohingya Enggan Kembali ke Myanmar

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Esthi Maharani
Foto kompilasi pengungsi Rohingya di Gundum dan Kutupalong yang mengaku menjadi korban perkosaan militer Myanmar.
Foto: Wong May E/AP Photo
Foto kompilasi pengungsi Rohingya di Gundum dan Kutupalong yang mengaku menjadi korban perkosaan militer Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, COX'S BAZAR - Wabah penyakit, kelaparan, dan kesengsaraan telah membayangi warga Rohingya yang tinggal di kamp-kamp pengungsi Bangladesh. Namun, meski menghadapi banyak kesulitan, hanya sedikit dari mereka yang bersedia mempertimbangkan untuk pulang ke Myanmar.

Kesepakatan yang telah ditandatangani oleh Myanmar dan Bangladesh pada November lalu untuk mulai memulangkan pengungsi, telah membuat para pengungsi ketakutan. Mereka kembali diselimuti trauma akan kekerasan yang terjadi di tanah air mereka.

"Mereka membuat kesepakatan, tapi kami tidak akan mengikuti kesepakatan itu. Ketika kami kembali, mereka akan menyiksa dan membunuh kami lagi," kata seorang pengungsi Rohingya, Mohammad Syed, (33 tahun).

Kelompok HAM juga mengkhawatirkan kondisi yang tidak aman bagi para pengungsi untuk kembali ke Myanmar. Kesepakatan itu dinilai tidak dapat memberikan jaminan akan keselamatan mereka.

"Ini jebakan, mereka telah memberikan jaminan seperti itu sebelumnya, tapi kami masih hidup seperti di neraka. Saya lebih suka tinggal di sini. Kami mendapatkan makanan dan tempat berlindung di sini, dan kami bisa berdoa dengan bebas. Kami diperbolehkan untuk tinggal," kata Dolu, wanita Rohingya yang tinggal di kamp pengungsi di Cox's Bazar.

Kelompok-kelompok bantuan telah memperingatkan Myanmar, mereka akan memboikot kamp-kamp baru yang diperuntukkan bagi orang-orang Rohingya yang telah kembali. Mereka mengatakan, pengungsi harus diizinkan tinggal di rumah mereka sendiri, bukan di kamp.

"Mereka harus mengakui kami sebagai warga negara. Mereka harus memberi kami kartu identitas Rohingya yang benar. Baru setelah itu kami akan kembali. Kalau tidak, kami lebih baik mati di sini di Bangladesh," kata seorang pria Rohingya, Aziz Khan (25), yang tinggal di Kutupalong.

Bangladesh telah banyak mendapat pujian karena bersedia membuka perbatasannya saat gelombang warga sipil Rohingya melarikan diri dari kekerasan yang dilakukan tentara Myanmar. Namun pemerintah Bangladesh selalu menekankan, suatu hari para pengungsi akan kembali ke rumah mereka di Myanmar.

Sebelum kedatangan lebih dari 600 ribu warga Rohingya baru, Bangladesh telah menjadi tuan rumah bagi ratusan ribu warga Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan sebelumnya. Krisis ini telah memberi tekanan besar pada masyarakat Bangladesh yang tinggal di Cox's Bazar, setelah populasi pengungsi tumbuh empat kali lipat sejak Agustus lalu.

"Ini adalah kabar baik, selamat tinggal pada mereka. Sudah saatnya mereka kembali ke tempat mereka berada," kata Ehsaan Hossain, seorang pemilik toko di Cox's Bazar, yang menanggapi kesepakatan pemulangan pengungsi.

Akan tetapi, sopir becak Mohammad Ali khawatir pendapatannya, yang berlipat ganda sejak banjir pengungsi, akan merosot jika warga Rohingya tiba-tiba pergi secara massal. "Di satu sisi, saya akan merindukan mereka jika mereka pergi," kata pria berusia 30 tahun itu, dikutip Strait Times.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement