Selasa 26 Dec 2017 20:10 WIB

Korsel Optimistis Korut Bersedia Diajak Berunding

 Personil tentara Korea Selatan berpatroli di jermbatan penghubung Korea Selatan dan Korea Utara di desa perbatasan Panmunjom, Peju, Korsel, Sabtu (22/8). (AP/Ahn Young-joon)
Personil tentara Korea Selatan berpatroli di jermbatan penghubung Korea Selatan dan Korea Utara di desa perbatasan Panmunjom, Peju, Korsel, Sabtu (22/8). (AP/Ahn Young-joon)

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Korea Selatan pada Selasa memperkirakan tetangganya di utara mulai bersedia maju ke meja perundingan dengan Amerika Serikat pada tahun depan. Di sisi lain, Seoul masih tetap waspada dengan membentuk satuan militer khusus yang menangani ancaman nuklir dari Korea Utara.

Pada Jumat pekan lalu, Dewan Keamanan PBB memberlakukan sanksi baru lebih berat kepada Korea Utara sebagai balasan atas uji peluru kendali antarbenua oleh negara tersebut. Pyongyang kemudian menyebut langkah Dewan Keamanan itu sebagai perang dan pengucilan ekonomi.

"Korea Utara akan mulai mengupayakan perundingan dengan Amerika Serikat dan pada saat bersamaan ingin diakui sebagai negara dengan hak mengembangkan senjata nuklir," kata laporan kementerian penyatuan Korea Selatan tanpa menjelaskan lebih lanjut.

Sementara itu, kementerian pertahanan menyatakan akan menugaskan empat satuan militer untuk mengawasi kebijakan Korea Utara. Tujuannya untuk merespon dan mencegah ancaman nuklir serta rudal Korea Utara.

Ketegangan kawasan terus meninggi akibat program nuklir dan rudal Korea Utara. Diplomat dari Amerika Serikat sudah menegaskan bahwa mereka mengupayakan solusi damai, namun Presiden Donald Trump justru menyebut perundingan sebagai langkah yang sia-sia. Trump menyatakan bahwa Pyongyang harus berkomitmen untuk menghentikan program nuklir mereka sebelum membuka meja perundingan.

Dalam pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita KCNA, Korea Utara mengatakan bahwa Amerika Serikat saat ini tengah ketakutan atas kekuatan nuklir Pyongyang. Cina, yang selama ini menjadi sekutu terbesar Korea Utara, dan Rusia sama-sama mendukung sanksi terbaru dari Dewan Keamanan, yang ditujukan untuk membatasi akses negara tersebut terhadap produk minyak jadi dan mentah, serta menghambat remitansi dari pekerja di luar negeri.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement