Selasa 16 Jan 2018 21:17 WIB

Repatriasi Rohingya Dilakukan Selama Dua Tahun

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Agus Yulianto
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi Sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar.
Foto: AP/Bernat Armangue
Pengungsi Muslim Rohingya melintasi Sungai Naf di perbatasan Myanmar-Bangladesh, untuk menyelematkan diri mereka dari genosida militer Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID,  DHAKA -- Pemerintah Bangladesh, pada Selasa (16/1), mengatakan proses repatriasi ratusan ribu pengungsi Rohingya akan diselesaikan dalam waktu dua tahun. Repatriasi rencananya akan dimulai pada Selasa (23/1) pekan depan.

"Upaya pengembalian (pengungsi Rohingya) mempertimbangkan keluarga sebagai satu kesatuan dan Myanmar menyediakan tempat penampungan sementara bagi mereka yang kembali sebelum membangun kembali rumah bagi mereka," kata Kementerian Luar Negeri Bangladesh dalam sebuah pernyataan.

Dalam prosesnya, Bangladesh pun akan mendirikan lima tenda transit. Dari tenda-tenda tersebut, para pengungsi akan dipandu ke dua pusat penerimaan di perbatasan Myanmar. "Myanmar telah menegaskan komitmennya untuk menghentikan arus penduduk Myanmar ke Bangladesh," kata Kementerian Luar Negeri Bangladesh menerangkan.

Direktur Jenderal Departemen Bantuan dan Permukiman Kembali di Kementerian Kesejahteraan Sosial Myanmar Ko Ko Naing mengatakan, pemerintahnya telah menandatangani kesepakatan dengan Bangladesh terkait dimulainya proses repatriasi. Ia mengatakan, proses ini akan dimulai pada 23 Januari mendatang.

Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay, mengungkapkan, para pengungsi Rohingya yang baru saja kembali dari Bangladesh nantinya dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan. Mereka yang berhasil lolos proses verifikasi pemerintah Myanmar dipastikan akan mendapatkan status kewarganegaraan.

Kendati telah mencapai kesepakatan dimulainya proses repatriasi, namun Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) meminta agar Myanmar terlebih dulu memberitahu kondisi serta situasi di Rakhine kepada para pengungsi. "Tantangan utama harus diatasi. Ini termasuk memastikan mereka diberi tahu tentang situasi di wilayah asal mereka dan dikonsultasikan berdasarkan keinginan mereka, bahwa keamanan mereka terjamin," kata juru bicara UNHCR Andrej Mahecic.

Hal ini pun diungkapkan oleh lembaga hak asasi manusia Asian Human Rights Watch. Menurut Wakil Direktur Asian Human Rights Watch Phil Robertson, sangat penting memastikan bahwa para pengungsi yang kembali ke Myanmar terjamin keamanan serta keselamatannya.

"Di mana pertimbangan untuk melindungi Rohingya dari pasukan keamanan Myanmar yang beberapa bulan lalu memperkosa dan membunuh mereka? Bagaimana jadinya diskusi yang mengabaikan perampasan hak orang-orang yang ditahan tanpa batas waktu, yang disebut akomodasi sementara ini?," tutur Robertson.

Jaminan keamanan dan keselamatan pascaproses repatriasi memang menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para pengungsi Rohingya. Mohammad Farouk (20 tahun), misalnya, yang saat ini mengungsi di Kutupalong, Bangladesh.

Ia mengatakan, bertukar satu kamp dengan kamp yang lain tentu membuat perbedaan. "Kecuali kamp-kamp di Myanmar akan jauh lebih buruk, karena kita akan dikurung di sana dan akan membahayakan hidup kita," kata Farouk.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement