Jumat 19 Jan 2018 08:59 WIB

Terungkap, Skandal Pelecehan Seksual di PBB

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Markas PBB di New York (ilustrasi)
Foto: Strait times
Pelecehan (ilustrasi)

Dia menjelaskan, meskipun ada bukti medis dan kesaksian saksi, penyelidikan internal PBB menemukan bukti yang tidak memadai untuk mendukung tuduhan pelecehan tersebut. Sejak itu dia telah kehilangan visanya dan telah menghabiskan waktu berbulan-bulan di rumah sakit karena stres dan trauma. Dia khawatir akan menghadapi penganiayaan jika kembali ke negara asalnya.

Dalam dokumen internal yang dilihat oleh The Guardian, tim investigasi PBB, kantor layanan pengawasan internal (OIOS), diduga telah gagal mewawancarai saksi kunci. Pelaku pelecehan masih diizinkan untuk tetap menjabat karena memiliki pengaruh yang cukup kuat.

PBB juga telah lama dikritik karena kegagalannya untuk menyelidiki secara benar laporan pelecehan dan eksploitasi seksual oleh pasukan penjaga perdamaian terhadap masyarakat lokal tempat mereka bertugas, tidak terkecuali di Republik Afrika Tengah dan Haiti.

Dalam kasus-kasus yang melibatkan eksploitasi seksual kepada masyarakat lokal, keluhan sulit diajukan karena organisasi tersebut bersifat internasional. Banyak staf senior memiliki kekebalan diplomatik yang berarti mereka dapat menghindari pengadilan nasional. Bahkan jika pelaku tidak memiliki kekebalan, insiden semacam ini sering terjadi di negara-negara yang sistem peradilannya tidak berfungsi.

Staf PBB sering bergantung pada organisasi tidak hanya untuk pekerjaan, tetapi juga untuk visa kerja dan manfaat lainnya, seperti biaya sekolah. Sehingga banyak korban dan saksi, yang juga takut akan pembalasan, memutuskan untuk tidak berbicara mengenai masalah pelecehan.

Dalam sebuah pernyataan, PBB berjanji untuk memperkuat kapasitas guna menyelidiki laporan pelecehan dan mendukung korban. Organisasi tersebut mengatakan Guterres telah menunjuk advokat hak korban dan membentuk satuan tugas tingkat tinggi untuk meninjau kembali kebijakan dan memperkuat penyelidikan.

"Budaya diam sangat meresap di PBB, dengan alasan yang tidak berlaku bagi Hollywood atau industri teknologi," kata Paula Donovan, co-director Aids-Free World dan kampanye Code Blue, yang bertujuan untuk mengakhiri impunitas atas pelecehan seksual yang dilakukan oleh penjaga perdamaian PBB.

Seorang pekerja bantuan, yang mengklaim telah dilecehkan oleh seorang pegawai senior PBB, mengatakan dia memiliki sedikit harapan akan keadilan. "Bahkan saat Anda mengumpulkan keberanian untuk melaporkan dan Anda telah melakukan semua mekanisme internal, seperti yang saya lakukan, semuanya tidak ada apa-apanya untuk Anda," kata dia.

"Mereka memobilisasi teman dan rekan kerja untuk melawan saya. Saya mendapat ancaman yang dikirim melalui teman bahwa saya tidak akan pernah menginjakkan kaki di kantor ini lagi."

Peter Gallo, mantan penyidik OIOS yang meninggalkan PBB pada 2015, mengatakan dia menyaksikan banyak bukti yang secara rutin telah diabaikan. "Sebagai penyidik saya diberitahu saya seharusnya tidak pernah mengajukan pertanyaan hanya untuk memuaskan keingintahuan saya. Satu-satunya aturan adalah tidak mempermalukan organisasi secara terbuka," papar Gallo.

Ada sedikit penelitian tentang frekuensi pelecehan seksual di dalam PBB. Namun, kekhawatiran atas pelecehan seksual di UNAids mendorong tujuh negara donor utama untuk menerbitkan pernyataan secara publik yang mendesak tindakan cepat untuk menangani tuduhan tersebut.

Survei staf internal UNAids menemukan bahwa, 10 persen dari 427 staf pernah mengalami pelecehan seksual. Hanya dua yang melaporkannya. Badan PBB lainnya, UNESCO, juga sedang menyelidiki klaim pelecehan seksual yang dilakukan oleh Asisten Direktur Jenderal Frank La Rue.

Staf PBB dari delapan lembaga yang berbeda, termasuk UNHCR, UNDP, misi penjaga perdamaian PBB, dan badan bantuan makanan PBB, menggambarkan kepemimpinan senior yang didominasi laki-laki. Staf lokal, terutama perempuan muda yang memiliki kontrak jangka pendek, dianggap sangat rentan menjadi korban.

Banyak staf mengatakan para senior telah menawarkan pengembangan karir kepada korban pelecehan seksual mereka. Dua staf senior yang baru saja pensiun dari kantor PBB di Roma mengatakan mereka mengetahui tawaran semacam itu telah diberikan kepada staf-staf muda.

Charlotte Bunch, dari Pusat Kepemimpinan Global Wanita di Universitas Rutgers, mengatakan PBB harus berbuat lebih banyak untuk meningkatkan jumlah pemimpin perempuan. PBB dan para seniornya memiliki kekebalan diplomatik yang lengkap, yang membebaskan mereka dari proses hukum. "Ini mengerikan, karena ini adalah organisasi yang seharusnya membela hak semua orang. Kami adalah orang-orang yang munafik seperti itu," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement