Ahad 25 Feb 2018 08:15 WIB

Gencatan Senjata Ghouta Diminta Berlaku Operasi Militer Lain

Gencatan senjata bertujuan untuk memberi akses masuk bantuan.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Indira Rezkisari
Bangunan yang hancur akibat pengeboman di Ghouta timur, pinggiran Damaskus, Suriah, Kamis (22/2).
Foto: Ghouta Media Center via AP
Bangunan yang hancur akibat pengeboman di Ghouta timur, pinggiran Damaskus, Suriah, Kamis (22/2).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK - Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB) telah mengeluarkan resolusi gencatan senjata selama 30 hari di Ghouta Timur, Suriah, pada Sabtu (24/2). Dewan tersebut telah memberikan suara bulat dari 15 negara anggotanya.

Duta Besar Suriah untuk PBB Bashar Ja'afari mengatakan pemerintahnya menafsirkan resolusi tersebut juga harus diterapkan terhadap operasi militer Turki di Afrin, operasi militer koalisi anti-ISIS di Suriah, dan serangan Israel ke Suriah terutama di dataran tinggi Golan.

Tak lama setelah resolusi gencatan senjata itu dikeluarkan, pesawat tempur pemerintah Suriah masih melakukan serangan ke wilayah Ghouta Timur. Pesawat tempur telah menyerang wilayah pemberontak tersebut selama tujuh hari berturut-turut, hingga memaksa penduduknya untuk bersembunyi di ruang bawah tanah

Syrian Observatory for Human Rights mengatakan, tembakan roket dan serangan udara telah menewaskan lebih dari 500 orang hingga Ahad (25/2) malam di Ghouta Timur. Di antara para korban tewas, 120 di antaranya adalah anak-anak.

Kelompok HAM tersebut menambahkan, serangan juga terjadi di Douma, Zamalka, dan kota-kota lain pada Sabtu (24/2) dan menewaskan 40 orang. Badan amal medis telah mengecam serangan terhadap selusin rumah sakit di wilayah-wilayah itu. Pemerintah Suriah dan Rusia mengatakan mereka hanya menargetkan militan dan justru menuduh pemberontak telah menggunakan manusia sebagai perisai.

"Kami memerangi terorisme di wilayah kami. Pemerintah kami memiliki hak untuk merespons jika kelompok-kelompok teroris menargetkan warga sipil di bagian manapun di Suriah dengan satu rudal tunggal," kata Ja'afari.

Setelah sempat menunda untuk mengadopsi resolusi yang dirancang oleh Swedia dan Kuwait itu karena tidak kunjung mendapatkan dukungan dari Rusia, DK PBB akhirnya berhasil mendapatkan suara bulat. Resolusi tersebut menuntut peperangan berhenti selama 30 hari untuk memungkinkan masuknya akses bantuan dan evakuasi medis.

"Kami menerima, mungkin diperlukan waktu beberapa jam sebelum semuanya dapat terlaksana sepenuhnya. Kami hanya perlu menahan tekanan, penerapannya sangat penting sekarang," kata Menteri Luar Negeri Swedia Margot Wallstrom.

Rusia tidak ingin menentukan kapan gencatan senjata ini harus dimulai, sehingga resolusi yang memerlukan waktu 72 jam untuk diadopsi itu menuntut agar gencatan senjata dilakukan tanpa penundaan. Perundingan DK PBB menambahkan permintaan agar semua pihak yang terlibat dalam konflik di Ghouta Timur segera melakukan implementasi penuh dan komprehensif atas resolusi tersebut.

Dua faksi pemberontak yang dominan di Ghouta Timur, yaitu Failaq al-Rahman dan Jaish al-Islam telah berkomitmen untuk menerapkan gencatan senjata dan memfasilitasi akses bantuan. Namun mereka juga menegaskan kembali hak mereka untuk menanggapi setiap serangan dari pasukan pemerintah. Gencatan senjata yang diminta oleh DK PBB tersebut tidak mencakup militan dari ISIS, Alqaidah, dan Front Nusra.

Pada Rabu (21/2), Sekjen PBB Antonio Guterres telah mendesak untuk diakhirinya perang di Ghouta timur. Di kota ini hampir 400 ribu penduduknya telah tinggal di bawah pengepungan pemerintah Suriah sejak 2013, tanpa memiliki makanan dan obat-obatan yang cukup.

Pencarian korban selamat mulai dilakukan setelah terjadi serangan di Kafr Batna, Douma, dan Harasta. Layanan penyelamatan, yang beroperasi di wilayah pemberontak, mengatakan mereka telah mendokumentasikan setidaknya 350 kematian dalam empat hari di awal pekan ini.

"Mungkin masih banyak lagi. Kami tidak bisa menghitung kematian kemarin karena pesawat tempur melakukan serangan lagi dari langit," kata Siraj Mahmoud, juru bicara pejabat pertahanan sipil setempat.

Menurut Mahmoud, saat para pekerja bantuan tengah berjuang mencari korban, bom kembali berjatuhan dari pesawat tempur. Dewan oposisi setempat mengatakan pihaknya sedang membentuk tim sukarelawan darurat di beberapa distrik untuk memperkuat pertahanan tempat penampungan dengan karung pasir dan mencoba menghubungkan mereka melalui terowongan, dilansir dari Reuters.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement