Rabu 19 Feb 2014 09:27 WIB

Ghaith Sang Pendobrak

perempuan Palestina, ilustrasi
perempuan Palestina, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ferry Kisihandi

Masa depan perempuan ada di dapur suaminya. Kalimat ini tak asing lagi di telinga Abeer Abu Ghaith. Ia sering mendengarnya saat ia tumbuh menjadi dewasa. Namun, perempuan Palestina berusia 29 tahun itu kini mampu menjungkirbalikkan kalimat tersebut.

Ghaith tak terdampar di dapur. Justru ia perempuan pertama yang menjadi pengusaha berbasis teknologi tinggi. ‘’Saya mengubah dunia dari rumah,’’ katanya pekan lalu. Ia biasa beraktivitas di kamarnya yang merangkap sebagai tempat kerjanya.

Tahun lalu, ia bersama teman-temannya mendirikan  StayLinked. Perusahaan ini menjadi perantara pekerja lepas Palestina dengan perusahaan yang membutuhkan. Misalnya penerjemahan, memasukkan data, desain grafis, pemasaran online, dan pengembangan laman.

‘’Klien kami termasuk perusahaan-perusahaan di Amerika dan negara-negara Teluk,’’ ujar Ghaith. Ia memiliki tiga mitra bisnis. Dua mitra perempuannya menyuntikkan 30 ribu dolar AS sebagai dana awal dan mengendalikan 70 persen bisnis.

Sejauh ini, StayLinked mampu mendulang pendapatan hingga ribuan dolar AS. Ghaith enggan menyebutkan angka pastinya. Perusahaannya juga menampung 40 pekerja lepas, setengahnya adalah perempuan. Ia mengaku belum memperoleh keuntungan.

Tapi ia yakin pada 2014 ini usahanya akan lebih berkembang. Januari 2014 lalu, Ghaith juga memperoleh Women in Technology Awards in the Middle East and Africa for 2014. Sebuah pengakuan bergengsi atas sepak terjangnya di dunia yang digelutinya sekarang.

Juri penghargaan ini di antaranya para eksekutif IBM, Cisco, dan Hewlett Packard. Namun, Ghaith tak bisa hadir dalam acara penyerahan penghargaan yang berlangsung di Dubai, Uni Emirat Arab.

Penyebabnya, ada pembatasan visa. Beruntung, trofi penghargaan sampai ke tangannya dan ia letakkan di samping meja kerjanya.

Penghargaan ini merupakan simbol ia berhasil mengubah masa depan kaumnya, perempuan, melalui teknologi informasi. Ia membantu para perempuan Palestina memperoleh akses pekerjaan dan kebebasan finansial.

Sejumlah pengamat menuturkan, dalam lima tahun ke depan, sektor ini akan berkembang pesat dan membutuhkan ribuan sumber daya manusia. Perempuan Palestina di Tepi Barat dan Gaza sebenarnya banyak yang menempuh pendidikan tinggi.

Sayangnya, mereka sulit menembus pasar kerja. Setelah lulus, mereka juga ada yang menikah dulu dan urusan karier dipikirkan kemudian. ‘’Perempuan Palestina menghadapi banyak tantangan,’’ kata anak kedua dari sembilan bersaudara ini yang tinggal di Dura, Tepi Barat.

Sebenarnya, banyak perempuan memiliki kemampuan tetapi tak mempunyai akses kerja. Ghaith lulus dari Polytechnic University, Hebrob, Tepi Barat pada 2007. Ia juga masih bekerja di almamaternya sebagai konsultan karier untuk mahasiswa teknologi informasi.

Di sisi lain, kesibukan Ghaith tak melenakannya. Ia tetap menjalin kehidupan sosial dengan baik. Ia biasa shalat berjamaah di masjid dekat rumahnya. Berinteraksi dengan orang tuanya dengan baik. Hassan Kassem, menyampaikan sanjungan kepada Ghaith.

Laki-laki yang mengepalai asosiasi perusahaan teknologi informasi di Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur itu menilai Ghaith menjadi sosok unik di sektor usaha ini. Ghaith pendiri perusahaan. Perempuan lainnya umumnya hanya sebagai tenaga pemasaran.

sumber : ap
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement