Kamis 12 Oct 2017 09:08 WIB

Israel Lobi Mesir Saat Pertemuan Hamas-Fatah

Rep: Fira Nursya’bani/ Red: Elba Damhuri
Bendera Palestina berkibar untuk pertama kalinya di Markas PBB, New York, Rabu (30/9).  (AP Photo/Seth Wenig)
Bendera Palestina berkibar untuk pertama kalinya di Markas PBB, New York, Rabu (30/9). (AP Photo/Seth Wenig)

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Delegasi Israel mengunjungi Kairo untuk melakukan pembicaraan dengan pejabat Pemerintahan Mesir, Selasa (10/10). Pembicaraan ini dilakukan menjelang perundingan rekonsiliasi antara dua kekuatan politik Palestina Fatah dan Hamas di Kairo.

Meskipun tidak ada kabar mengenai isi dari pembicaraan tersebut, laporan Times of Israel mengatakan, kedatangan delegasi Israel itu berkaitan dengan upaya rekonsiliasi. Otoritas Palestina saat ini tengah berusaha untuk mendapatkan kembali kedaulatan atas Jalur Gaza setelah diperintah oleh Hamas selama satu dekade.

Pekan lalu, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengecam upaya rekonsiliasi itu. Ia mengatakan, Pemerintah Palestina pada masa depan harus membubarkan kelompok bersenjata Hamas dan memutuskan hubungannya dengan Iran.

Perundingan antara Fatah dan Hamas ini merupakan tidak lanjut dari kunjungan Perdana Menteri Otoritas Palestina Rami Hamdallah ke Gaza untuk pertama kalinya sejak 2015. Menteri-menterinya juga secara resmi mengambil alih kendali departemen pemerintah di sana.

Meskipun ada kecaman dari Netanyahu, Presiden Mesir Abdel-Fattah el-Sissi mengatakan, perundingan rekonsiliasi yang didukung oleh Mesir antara Otoritas Palestina dan Hamas adalah persiapan untuk kesepakatan damai antara Israel-Palestina.

Sissi, yang bulan lalu bertemu dengan Netanyahu di sela-sela Sidang Majelis Umum PBB di New York, telah menekankan, dia yakin rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas dapat membuka jalan bagi perdamaian Timur Tengah.

"Komite dialog untuk rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas mulai bekerja dengan dukungan Mesir," kata seorang delegasi dari kelompok Hamas, dikutip Times of Israel. "Perundingan akan dilakukan di markas intelijen Mesir untuk memeriksa berkas-berkas, yang memungkinkan pemerintah persatuan nasional Palestina bekerja di Jalur Gaza," kata dia lagi.

Azzam al-Ahmad, yang memimpin delegasi Fatah mengatakan, pokok pembicaraan dalam perundingan itu adalah memberdayakan pemerintah di Gaza. Juru bicara Fatah, Osama al-Qawasmi mengatakan, perundingan ini juga dimaksudkan untuk membuka jalan bagi pemilihan presiden dan legislatif.

Kelompok Hamas dan gerakan Fatah yang dipimpin Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas yang berbasis di Tepi Barat telah berselisih sejak mereka melakukan perang saudara pada 2007. Perpecahan tersebut telah mempersulit setiap negosiasi perdamaian dengan Israel.

Hamas tetap berkomitmen terhadap kehancuran negara Yahudi dan telah bersumpah pihaknya tidak akan menyerahkan persenjataannya dalam kesepakatan rekonsiliasi dengan Otoritas Palestina. Seorang pejabat intelijen Mesir mengatakan kepada //Haaretz//, perundingan tersebut tidak akan membahas masalah-masalah seperti masa depan militer Hamas. Namun, lebih fokus pada hal-hal seperti pengelolaan pegawai sipil di Gaza.

Lebih dari satu dekade, faksi Fatah yang mendukung Abbas, telah mengendalikan Otoritas Palestina yang berbasis di Tepi Barat. Sementara saingannya, Hamas, secara de facto memerintah Jalur Gaza sejak mengambil alih wilayah itu pada 2007.

Hamas mengklaim mereka adalah satu-satunya pihak yang sah melakukan perlawanan terhadap pendudukan Israel yang sedang berlangsung. Namun, saat berbicara dengan televisi Mesir pekan lalu, Abbas menyerukan satu negara, satu rezim, satu undang-undang, dan satu persenjataan.

"Saya tidak akan menerima bangkitnya kelompok bersenjata di Gaza, seperti Hizbullah di Lebanon," kata Abbas, merujuk pada kelompok bersenjata dan organisasi politik Hizbullah, yang menguasai sebagian besar wilayah selatan Lebanon.

Bulan lalu, Hamas mengumumkan pembubaran komite administratifnya, badan politik yang mengelola Gaza. Kelompok tersebut menerima persyaratan yang ditetapkan oleh Abbas dan menyatakan kesediaannya untuk mengadakan pemilihan parlemen di wilayah Palestina yang diduduki.

Hamas juga mengatakan, Konsensus Pemerintah Nasional telah secara resmi mengambil alih Pemerintahan Gaza. Hamas dan Fatah bertemu di Kairo sejak Selasa (10/10) untuk melakukan negosiasi yang diperantarai Mesir.

Permintaan untuk melucuti senjata akan menjadi titik tolak dalam upaya rekonsiliasi, yang selalu gagal dalam 10 tahun ini. Berbicara kepada Kantor Berita Ma'an, juru bicara Hamas Hazem Qassem menegaskan, senjata milik Hamas tidak akan menjadi topik perundingan.

"Senjata ada di sini untuk melindungi warga Palestina dan membebaskan tanah mereka (dari pendudukan Israel). Karena itu, senjata seharusnya tidak menjadi masalah yang didiskusikan," kata Qassem, dikutip Aljazirah.

Pada 2006, Hamas mendominasi pemilihan legislatif Palestina, dengan mendapatkan 44,5 persen suara dan mengamankan 74 kursi di Dewan Legislatif Palestina. Setelah itu, pertengkaran antara Fatah dan Hamas membuat keduanya enggan membentuk koalisi.

Abbas dan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang didominasi oleh Fatah, kemudian berusaha menggulingkan pemerintahan yang dipimpin Hamas. Investigasi "Palestine Papers" oleh Aljazirah kemudian mengungkapkan, MI6, badan intelijen Inggris, telah menyusun rencana untuk Otoritas Palestina agar menyingkirkan Hamas. Sementara itu, AS membantu melatih dan membentuk pasukan Pengawal Presiden, angkatan bersenjata yang setia kepada Abbas.

Pada 2007, ketegangan meningkat menjadi konfrontasi bersenjata di Gaza. Hamas berhasil mengusir Fatah dan mengambil alih wilayah pantai yang terkepung tersebut. Pada tahun yang sama, dengan bantuan Mesir, Israel memberlakukan blokade terhadap Gaza. Blokade ini mengatur arus orang, barang, obat-obatan, makanan, dan bantuan kemanusiaan ke dalam dan luar wilayah tersebut.

Sejak Desember 2008, Israel telah melakukan tiga serangan militer besar terhadap orang-orang Palestina di Jalur Gaza. Salah satu serangan yang dimulai pada Juli 2014 dan berlangsung selama 51 hari, telah menewaskan lebih dari 2.200 orang, kebanyakan dari mereka adalah warga sipil Palestina.

Tariq Dana, penasihat kebijakan Al-Shabaka, Jaringan Kebijakan Palestina, menilai Hamas sukar mengubah pendiriannya soal penyerahan senjata dalam waktu dekat. Dana menjelaskan, sebagian besar legitimasi yang diperoleh Hamas di mata orang-orang Palestina berakar dari kekecewaan mereka terhadap Otoritas Palestina. "Hamas mendapatkan rasa hormat dari orang-orang Palestina karena aktivitas militannya melawan pendudukan Israel," kata Dana.

(Tulisan ini diolah oleh Fitriyan Zamzami)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement