Senin 24 Jul 2017 05:50 WIB

Pimpinan Liga Arab: Israel 'Bermain Api' Terkait Jerusalem

Warga Palestina melaksanakan Shalat Jumat berlarian saat kanister gas air mata yang ditembakkan polisi Israel meledak. Sebelumnya mereka melaksanakan shalat jumat  di jalan menuju di Kota Tua Yerusalem tersebut, Jumat (21/7)
Foto: Ronen Zvulun/Reuters
Warga Palestina melaksanakan Shalat Jumat berlarian saat kanister gas air mata yang ditembakkan polisi Israel meledak. Sebelumnya mereka melaksanakan shalat jumat di jalan menuju di Kota Tua Yerusalem tersebut, Jumat (21/7)

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Liga Arab memperingatkan Israel jangan "bermain dengan api" atas garis merah Jerusalem. Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit mengatakan, para menteri luar negeri Liga Arab akan mengadakan pertemuan pada Rabu (26/7) mendatang, membahas kekerasan pihak Israel terhadap warga Palestina.

Israel mengirim pasukan tambahan ke Tepi Barat yang diduduki pada Sabtu setelah kekerasan meletus atas pemasangan detektor logam Israel pada titik masuk ke kawasan yang dikenal umat Muslim sebagai al-Haram asy-Syarif dan oleh kaum Yahudi sebagai Bukit Rumah Suci.

"Jerusalem adalah garis merah yang oleh Muslim dan Arab dilarang untuk dilewati, dan apa yang terjadi saat ini adalah upaya untuk menerapkan sebuah realitas baru di kota suci," kata Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit dalam sebuah pernyataan Ahad (23/7).

"Pemerintah Israel bermain dengan api dan mempertaruhkan krisis besar dengan dunia Arab dan Islam," ujarnya.

Menteri luar negeri Liga Arab akan mengadakan pembicaraan darurat di Kairo pada Rabu, kelompok tersebut mengatakan dalam sebuah pernyataan.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa berencana untuk bertemu pada Senin untuk membahas serentetan kekerasan Israel-Palestina paling berdarah selama bertahun-tahun. Swedia, Mesir dan Prancis meminta pertemuan tersebut untuk segera mendiskusikan de-eskalasi di Jerusalem.

Komandan militer Israel telah memperingatkan bahwa kekerasan akan meningkat. Polisi Israel mengatakan bahwa satuan tambahan telah dikerahkan untuk meningkatkan keamanan di Kota Tua, sementara akses umat muslim menuju tempat suci itu, untuk melaksanakan sholat, akan dibatasi hanya untuk wanita dari segala umur dan laki-laki di atas 50 tahun.

Alat penghalang ditempatkan pada akses jalan menuju Jerusalem, untuk menghentikan bus yang membawa umat Muslim ke lokasi tersebut. Ketegangan seringkali meningkat di sekitar kawasan tersebut, yang di dalamnya berdiri Masjid al Aqsa dan Kubah Batu Emas. Gesekan terjadi sejak Israel merebut dan mencaplok Kota Tua, termasuk kawasan suci itu, dalam perang Timur Tengah 1967.

Gelombang serangan jalanan oleh warga Palestina yang dimulai pada 2015 telah berkurang, Namun belum berhenti. Sedikitnya 255 warga Palestina dan satu warga Jordania tewas sejak kekerasan dimulai.

Israel mengatakan bahwa setidaknya 173 dari mereka yang tewas, merupakan pelaku tindakan penyerangan, sementara lainnya tewas dalam bentrokan dan unjuk rasa.

Israel merebut wilayah Jerusalem Timur, tempat Kota Tua dan kawasan suci berada, setelah perang Timur Tengah 1967 dan menganggap seluruh Jerusalem sebagai ibukotanya, sebuah langkah yang tidak diakui secara internasional.

Warga Palestina menginginkan Jerusalem Timur sebagai ibukota negara mereka, sebuah negara merdeka yang wilayahnya mencakup Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Israel menuduh pemimpin Palestina menghasut warganya untuk melakukan kekerasan, namun pihak berwenang Palestina mengatakan bahwa keputusasaan warga Palestina selama pendudukan Israel adalah pendorong utama kekerasan terjadi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement