Jumat 01 Sep 2017 19:24 WIB

Hilangnya Kewarganegaraan Keturunan Palestina di Israel

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
Militer Israel berpatroli mengawasi warga Palestina.
Foto: www.ibtimes.co.uk
Militer Israel berpatroli mengawasi warga Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, NEGEV -- Israel secara bertahap melepaskan status kewarganegaraan ribuan orang Badui Palestina dari berbagai desa di wilayah selatan Negev. Pihak Israel mengklaim pemberian kewarganegaraan kepada orang Badui Palestina merupakan kesalahan. Langkah ini dinilai sebagai bagian dari rencana negara untuk menyingkirkan populasi minoritas.

Sallam Al Saraheen, seorang warga desa Bir Hadaj berusia 23 tahun, mengatakan bahwa dia telah berusaha untuk mendapatkan kewarganegaraan Israel selama setahun terakhir. "Lima saudara laki-laki saya berhasil, tapi tiga dari kita tidak. Kebijakannya hampir sewenang-wenang," katanya.

Demikian pula, Salim Al Dantiri (50 tahun). Ia mengatakan telah mengurus proses kewarganegaraan selama lebih dari dua dekade. Dalam kunjungan rutin ke kementerian dalam negeri, Al Dantiri diberitahu dia bukan warga negara Israel. "Saya katakan kepada mereka bahwa saya benar-benar warga negara. Saya biasa pergi dan memilih dalam pemilihan parlemen, bagaimana saya kemudian bukan warga negara?" tanya Al Dantiri.

Ia menjelaskan, banyak warga Badui yang sampai hari ini merasa bahwa mereka warga negara Israel  sehingga tidak pernah memiliki kebutuhan untuk membuat paspor. Tapi saat ini banyak yang segera mengurus pembuatan paspor hanya untuk memastikan bahwa mereka sebenarnya adalah warga negara Israel.

Selama 25 tahun terakhir, Al Dantiri menghadapi kesulitan dalam usahanya untuk mengeluarkan visa perjalanan. Sering kali, dokumen perjalanan Israel-nya tidak dikenali oleh banyak kedutaan besar yang mewakili banyak negara di seluruh dunia. Sampai saat ini, dia bisa mengunjungi Yordania untuk waktu yang terbatas selama dua minggu, yang menurutnya merupakan pengecualian.

"Setiap saat saya mendapatkan surat-surat saya secara berurutan, membuktikan bahwa saya lahir di negara bagian, dan mengajukan aplikasi yang komprehensif, mereka menyuruh saya untuk menunggu di rumah selama enam bulan dan mengatakan bahwa mereka akan mengirim sebuah paket. Tapi saya menunggu  dan tidak pernah menerima apapun. Mereka tidak pernah memberikan alasan yang sah," katanya.

Warga desa yang berada di bawah kebijakan semacam ini berharap agar perwakilan parlemen mereka dapat menyelesaikan masalah ini tepat pada waktunya. Anggota Knesset Aida Touma-Suleiman mengatakan orang-orang Badui Palestina perlu bersatu untuk menyelesaikan masalah ini.

"Kami harus bekerja untuk mendidik masyarakat Negev tentang kebijakan ini- sayangnya, banyak dari mereka yang memiliki kewarganegaraannya dicabut berada di bawah kesan bahwa ini adalah prosedur administratif," katanya.

Touma-Suleiman mengatakan warga Badui harus diberdayakan khususnya mereka yang berada di bawah ancaman pencabutan dan harus bekerja untuk membentuk front persatuan saat berhadapan dengan kasus ini

Israel telah menggunakan kebijakan pencabutan tersebut selama lebih dari dua dekade, Anggota Knesset Aida Touma-Suleiman dari Daftar Gabungan mengatakan bahwa sejak 2010 telah terjadi peningkatan  pelanggaran Undang-Undang Kewarganegaraan Israel.

"Saya mengetahui tentang kebijakan yang dilaksanakan oleh kementerian dalam negeri ini secara kebetulan saat kunjungan ke salah satu desa di Negev. Saya didekati oleh beberapa individu yang memberi tahu saya tentang dilema mereka," ujar Touma-Suleiman seperti dilansir Aljazirah, Kamis (31/8).

Warga Badui yang mendatangi Kementerian Dalam Negeri Israel untuk  memperbarui paspor atau meminta dokumen baru diberitahu bahwa mereka bukan warga negara Israel meski lahir di Israel dan telah tinggal di sana sepanjang hidup mereka. Warga mengatakan kebijakan itu diterapkan semena-mena. Setidaknya ada 200 ribu orang Badui yang tinggal di Israel, namun sebagian besar berpusat di wilayah selatan negara tersebut.

Menurut Touma-Suleiman, perwakilan kementerian dalam negeri  dalam sebuah pertemuan dengan  Knesset mengatakan bahwa kebijakan tersebut ada untuk memperbaiki kesalahan negara yang dimulai pada 1951 atau tiga tahun setelah berdirinya Negara Israel. Dalam menanggapi Touma-Suleiman, Kemendagri mengatakan bahwa orang-orang Palestina diminta untuk mendaftarkan diri mereka di bawah daftar penduduk antara tahun 1948 dan 1951.

Namun untuk jangka waktu 17 tahun, desa-desa Badui di Palestina dinyatakan sebagai zona militer tertutup ketika Israel mendeklarasikan dirinya sebagai negara pada tahun 1948, sehingga tidak mungkin warga meninggalkan wilayah ini tanpa izin. Karena peraturan militer yang ada, banyak penduduk pada saat itu tidak mengetahui persyaratan pendaftaran.

Menurut Touma-Suleiman, Kemendagri mengklaim ada 2.600 orang Arab yang kewarganegaraannya telah dicabut, atau berada di bawah ancaman pencabutan. "Saya pikir jumlahnya jauh lebih tinggi dari ini. Kebijakan tersebut jelas menargetkan masyarakat Badui secara spesifik," katanya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement