Sabtu 25 Feb 2012 05:45 WIB

Trauma dan Ancaman Hantui Kehidupan Anak-Anak Gaza

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Ramdhan Muhaimin
Setengah penduduk Gaza, Palestina, adalah anak-anak (ilustrasi)
Setengah penduduk Gaza, Palestina, adalah anak-anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA - Malam itu seorang siswa kelas sembilan, Yousra, tengah belajar dengan penerangan cahaya lilin. Sementara itu, pesawat tempur Israel sedang berputar-putar di atas rumahnya. Ditemani cahaya temaram lilin, mau tak mau ia berpikir. Ia khawatir akan masa depannya dan bertanya-tanya apakah sekolahnya akan ditutup.

"Dengan kondisi kami ini, saya khawatir kami tidak akan mendapatkan pendidikan yang layak seperti pelajar lain di dunia," ujar Yousra yang mendapat ranking pertama di sekolahnya di kota Kan Yunis di selatan Gaza.

Posisi anak-anak yang lemah dan tidak berdaya kerap menjadikan mereka pihak yang menderita. Tengok saja yang terjadi di wilayah konflik Gaza, Palestina.

Ketakutan dan rasa was-was mewarnai hari-hari mereka. Terlebih, Selasa (21/2) lalu kekurangan bahan bakar yang terjadi di satu-satunya pembangkit listrik di kota itu memicu pemadaman listrik yang berlangsung hingga 18 jam.

Dampaknya sangat buruk bagi anak-anak, mereka khawatir dengan serangan tiba-tiba yang dilancarkan pasukan Israel. Menurut mereka, padamnya listrik juga berpengaruh negatif karena mereka tidak bisa belajar.

Hal itu juga membahayakan mereka dan keluarganya, karena penggunaan lilin dan generator listrik secara terus menerus di rumah. Mereka menyerukan kepada dunia untuk segera mengambil langkah-langkah penanganan. 

Para siswa ini juga meminta dukungan dari sesama rekannya di seluruh dunia untuk menyelamatkan mereka dari kegelapan yang akan menghambat kegiatan belajar mereka. 

Terdapat lebih dari satu juta anak usia sekolah di Palestina. Sekitar 710 ribu anak tinggal di Tepi Barat dan lebih dari 471 ribu mendiami Jalur Gaza. Dalam agresi Israel yang terakhir banyak sekolah di Gaza hancur. Bukan hanya itu, nyawa puluhan anak yang tidak berdosa pun harus terenggut.

Psikolog Mohammad Abdul Rahman mengatakan, secara khusus padamnya listrik dan ancaman dari Israel memiliki dampak negatif pada anak-anak. "Anak-anak adalah pihak yang paling terpengaruh oleh lingkungan dimana mereka tinggal," katanya.

Ketegangan yang terjadi di Gaza setiap hari mempengaruhi perilaku anak dan prestasi mereka di sekolah. Anak-anak kehilangan kemampuan mereka berkonsentrasi dan tidak bisa belajar seperti pada umumnya anak-anak normal. 

Menanggapi efek psikologis dari pemadaman listrik yang terjadi ditambah dengan ancaman serangan Israel, kata Rahman, sebagian besar anak-anak telah mengalami pengalaman traumatis. Deru pesawat tempur yang terbang di atas rumah bukan hal yang asing bagi anak-anak di Gaza.

Kendati demikian, kondisi ini justru memacu semangat bagi sebagian pelajar. Mereka termotivasi oleh rasa takut dan belajar lebih keras untuk mendapatkan nilai tertinggi di sekolah.

"Pelajar yang belajar lebih keras tidak peduli dengan ancaman perang atau pemadaman listrik. Mereka hanya berkonsentrasi belajar dan melakukan yang terbaik untuk lulus," ujar Rahman.

Israel nampaknya tidak terhentikan. Tindakan Israel kerap kali memicu terjadinya bentrokan. Bagi anak-anak, sulit menjalani kehidupan sehari-hari tanpa memikirkan bahaya yang mengincar mereka.

"Kita tidak boleh membiarkan penjajah yang haus darah melakukan ancaman terus-menerus. Mereka tidak pernah ragu membunuh anak-anak, mencuri mimpi mereka dan merenggut hak orang untuk hidup bermartabat," ujar Yousra tegas.

Ia percaya, hidup dalam kondisi negara yang berperang tidak selalu berarti kegagalan. Terkadang hal ini justru berlaku kebalikannya. Sejarah digoreskan dari kisah-kisah sukses mereka yang mengalami kehancuran, teror dan kemiskinan. 

sumber : alarabiya.net
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement