Kamis 07 Dec 2017 10:30 WIB

Pengamat: Negara Arab tak Berdaya untuk Perang Lawan Israel

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Teguh Firmansyah
(File Foto) Suasana Dome of The Rock di kompleks Al Aqsa, Yerusalem, Palestina beberapa waktu lalu.
Foto: Oded Balilty/AP
(File Foto) Suasana Dome of The Rock di kompleks Al Aqsa, Yerusalem, Palestina beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, akhirnya mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel di tengah kecaman dunia internasional. Banyak pihak mengkhawatirkan situasi di Timur Tengah selanjutnya.

Namun, Direktur Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia (UI), Muhammad Luthfi, menilai, Timur Tengah tidak akan terjerumus perang skala besar. Alasannya, negara-negara pendukung Palestina saat ini belum tentu akan meluncurkan kekuatan militer demi menggempur Israel. Dia menjelaskan, mayoritas mereka sekarang kurang berdaya.

Misalnya, Irak yang saat ini porak poranda akibat invasi militer AS pada 2003. Sebagai informasi, pada 1991 silam atau sehari setelah Perang Teluk pecah, Irak sempat mendaratkan rudalnya ke wilayah Israel.

Negara lainnya di Timur Tengah yang dinilai pro-Palestina adalah Mesir dan Suriah. Kini, Mesir tidak dapat berbuat banyak lantaran terikat perjanjian Camp David. Adapun Suriah sampai sekarang terjebak perang saudara sehingga kurang mampu mendukung Palestina via bantuan militer.

Bila situasi semakin panas, kata Luthfi, Israel mungkin saja akan mengalami serangan bersenjata yang semakin intens dari kelompok-kelompok pejuang pro-Palestina, utamanya Hamas atau Hizbullah.

"Kalau ada (konflik) skala besar itu, tentu akan melibatkan negara-negara pendukung Palestina. Tapi kalau tidak ada negara-negara pendukung Palestina yang bergerak, maka tentu tidak akan ada (konflik) skala besar. Paling-paling, benturan-benturan, demonstrasi, intifadha, seperti yang pernah di era 1980-an sampai 1990-an," kata Muhammad Luthfi kepada Republika.co.id, Kamis (7/12).

"Jadi, saya kira, perang dalam skala besar tidak akan terjadi di situ (Timur Tengah), sama sekali tidak. Paling-paling, ya itu tadi, serangan-serangan secara sporadis dari Hamas, atau dari Lebanon selatan yakni oleh Hizbullah. Tapi saya kira, tanpa adanya pemicu, Hizbullah tak akan lakukan penyerangan," tambahnya.

Baca juga,  Dubes AS Temui Menlu Jelaskan Soal Yerusalem.

Belum lama ini, utusan khusus Palestina untuk Inggris Raya, Manuel Hassassian, berpendapat AS sedang menabuh genderang perang di Timur Tengah.

"Jika dia (Trump) mengatakan niatnya tentang Yerusalem menjadi ibukota Israel, itu berarti telah menafikan solusi dua negara berdaulat (Palestina dan Israel). Dengan begitu, dia mendeklarasikan perang di Timur Tengah. Deklarasi perang melawan 1,5 miliar orang Muslim dan ratusan juta orang Kristen," ujar Hassassian dalam sebuah wawancara dengan BBC Radio, seperti dikutip Reuters, Rabu (6/12) lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement