Kamis 07 Dec 2017 21:17 WIB

SAS: Keputusan Trump Terkait Yerusalem Ancam Perdamaian

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.
Foto: AP/Alex Brandon
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel. Hal ini disampaikannya di Gedung Putih, Washington DC, Rabu (6/12) waktu setempat atau Kamis (7/12) WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Said Aqil Siradj (SAS) Institute Imadun Rahmat mengatakan, keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump yang mendukung rencana Israel memindahkan ibukotanya dari Tel Aviv ke Yerusalem Timur akan menimbulkan masalah baru yang sangat pelik. Bahkan hal itu akan mengancam proses perdamaian yang masih terus diupayakan PBB dan badan-badan perdamaian internasional.

"Tindakan ini harus dihentikan agar tidak merusak capaian perdamaian yang ada.Saat ini para pihak yang berkonflik, negara-negara Arab dan Israel, sepakat mengakhiri perang dan menerima pendekatan hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existance)," katanya di Jakarta, Kamis (7/12).

Menurut Imdadun, semua pihak mengakui keberadaan dua negara, Palestina dan Israel dengan perbatasan sebelum perang 1967. Ini dikukuhkan dalam Resolusi PBB No 242 dan 338 yang isinya mencakup kewajiban Israel meninggalkan wilayah Palestina yang direbutnya pada perang 1967. Menurutnya Resolusi PBB tersebut, Yerusalem Timur adalah wilayah Palestina. Saat ini kota tempat komplek suci tiga agama Yahudi, Kristen dan Islam, Al-Aqsha berada, di- status quo-kan demi menjaga proses kesepakatan terus berlangsung.

"Tindakan sepihak Israel ini akan meningkatkan kemarahan publik Palestina," ucapnya.

Ia berpendapat tindakan Israel ini menambah panjang daftar pembangkangan terhadap keputusan PBB dan suara komunitas internasional. Sebelumnya, Israel membandel terkait larangan pembangunan pemukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat. Soal blokade dan serangkaian serangan udara yang memunculkan berbagai krisis kemanusiaan juga terus dipraktikkan Israel.

"Klaim sepihak atas Jerusalem Timur akan menjadi triger kekerasan oleh rakyat Palestina yang telah sekian lama menahan kemarahan dan keputusasaan," ujarnya.

Kekerasan oleh faksi militan Palestina akan muncul sebagai respon atas tindakan Israel merebut Yerusalem Timur. Israel akan membalasnya dengan kekerasan yang lebih. "Lingkaran kekerasan akan muncul kembali dan menghancurkan peta jalan (road map) menuju perdamaian," tuturnya.

Ketegangan di Palestina juga akan memperparah konflik dan perang di kawasan Timur Tengah. Konflik di Timur Tengah yang melibatkan Israel dan Amerika Serikat akan dibaca publik sebagai konflik agama; Yahudi-Kristen melawan Islam.

"Hal ini akan menyuburkan radikalisme di kawasan lain khususnya dunia Islam termasuk Indonesia. Kampanye anti-smitik dan anti-Barat menjadi bahan baku penyebaran kebencian terhadap agama lain. Ia menjadi pupuk penyubur intoleransi bahkan kekerasan di negara-negara muslim," ujarnya seraya mengatakan pemerintah anggota OKI akan semakin terbebani masalah stabilitas internal.

Oleh karena itu, publik internasional harus bersatu menentang tindakan Israel dukungan Amerika Serikat atas nama perdamaian dan atas nama kemanusiaan. Said Aqil Siradj Institute (SAS Institute) pun mendorong pemerintah Indonesia menempuh langkah-langkah diplomatik secara sungguh-sungguh untuk mencegah tindakan Israel ini dan memperkuat dukungan terhadap Negara Palestina Merdeka yang sejati.

SAS Institute mendukung sikap PBNU yang menentang keras kebijakan Israel ini. SAS Institute menyerukan agar ada lebih banyak lagi lembaga madani atau 'civil society' untuk menentang keras tindakan Israel yang merusak perdamaian dunia tersebut.

SAS Institute menyerukan kepada masyarakat, khususnya umat Islam tidak terpancing oleh provokasi, agitasi dan penyebaran kebencian atas dasar agama terkait apa yang berlangsung di Palestina. Sebab, hal tersebut bukanlah konflik antaragama tetapi merupakan pertarungan antara kekuatan pro perdamaian dan kemanusiaan melawan kekuatan tiran yang tidak berkemanusiaan.

"Lihatlah betapa masyarakat Barat keras menentang kebijakan Israel tersebut dan mengutuk Trump yang mendukungnya termasuk pimpinan tertinggi Vatikan, Sri Paus," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement