Jumat 08 Dec 2017 17:55 WIB

Negara-Negara Amerika Latin Tolak Sikap AS Soal Yerusalem

Rep: Marniati/ Red: Budi Raharjo
Menangis. Peserta aksi menangis ketika berdoa dalam  aksi damai di depan kantor Kedutaan Amerika Sertikat, Jakarta, Jumat (08/12).
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Menangis. Peserta aksi menangis ketika berdoa dalam aksi damai di depan kantor Kedutaan Amerika Sertikat, Jakarta, Jumat (08/12).

REPUBLIKA.CO.ID,BOLIVIA -- Negara-negara Amerika Latin dan Karibia menyuarakan oposisi yang kuat untuk sebuah keputusan AS yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Dilansir di Middle East Monitor, Jumat (8/12), delapan dari 15 negara di Dewan Keamanan PBB, termasuk Bolivia dan Uruguay, menyerukan sebuah pertemuan mendesak dewan PBB untuk membahas masalah tersebut.

Duta Besar Bolivia untuk PBB Sacha Llorenti mengatakan keputusan sepihak ini melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan dan Majelis Umum, merongrong upaya untuk mencapai resolusi damai terhadap konflik Israel-Palestina dan membuat daerah menjadi tidak stabil. Llorenti mengatakan pertemuan tersebut akan berlangsung Jumat pagi.

Pemerintah Uruguay menekankan keputusan Gedung Putih tidak membantu memperbaiki iklim perdamaian dan saling menghormati yang dibutuhkan untuk mencapai solusi yang lengkap, abadi dan adil di Timur Tengah.

Venezuela menolak dan mengutuk keputusan pemerintah AS. Ia menyebutkan keputusan yang dibuat oleh negara Amerika Selatan sewenang-wenang.

"Pemerintah Venezuela menolak semua tindakan sewenang-wenang dan tidak dikonsultasikan yang berusaha memperluas keberadaan ilegal Israel di wilayah Palestina yang diduduki dan pencaplokan de facto Kota Yerusalem," kata Kementerian Luar Negeri Venezuela dalam sebuah siaran pers .

Venezuela, sebagai presiden Gerakan Non-Blok menganggap langkah tersebut sebagai pelanggaran terhadap hukum internasional.

Kementerian Luar Negeri Ekuador memperingatkan dampak negatif terhadap keputusan AS mengenai perundingan damai antara Israel dan Palestina.

Kuba juga termasuk di antara negara-negara yang mengkritik pengumuman Washington, dengan mengatakan hal itu melanggar kepentingan sah rakyat Palestina. Keputusan tersebut dinilai akan memiliki konsekuensi serius terhadap keamanan dan stabilitas Timur Tengah.

Menurut Kementerian Luar Negeri Kuba, mengubah status historis Yerusalem akan meningkatkan ketegangan di Timur Tengah.

Meksiko, melalui Kementerian Luar Negeri, mengatakan akan mempertahankan kedutaan besarnya di Tel Aviv. "Meksiko akan mempertahankan hubungan bilateral yang bersahabat dengan negara Israel dan ini juga akan mendukung klaim historis rakyat Palestina," kata Menteri Luar Negeri Meksiko.

Mantan presiden Kolombia dan kepala Persatuan Bangsa-Bangsa Amerika Selatan (UNASUR) Ernesto Samper memperingatkan konsekuensi atas keputusan Trump tersebut.

"Yerusalem adalah satu-satunya zona geografis rekonsiliasi yang ditinggalkan antara orang-orang Palestina dan Yahudi. Fakta bahwa Trump menyerahkannya kepada orang-orang Yahudi berarti bahwa ini akan menjadi medan perang agama baru di dunia," katanya.

Di antara negara-negara di kawasan yang tidak berkomentar mengenai masalah ini adalah Kolombia, sekutu Israel. Meskipun demikian, Misi Diplomatik Palestina di Kolombia menolak dan mengecam keras tindakan Trump. "Ini benar-benar berbahaya bagi pencarian perdamaian di tengah konflik pendudukan yang baru berusia 70 tahun," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement