Sabtu 09 Dec 2017 07:03 WIB

ACT: Amerika Membuka Ambang Krisis Baru Kemanusiaan

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Andi Nur Aminah
Presden ACT, Ahyudin
Foto: ROL/Sadly Rachman
Presden ACT, Ahyudin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ambang krisis baru kemanusiaan telah terjadi dengan adanya pengakuan Amerika atas Jerusalem atau Al Quds sebagai Ibu Kota Israel. Memunafikan negara Palestina dan Al-Aqsha di dalamnya sebagai jantung spiritual umat Islam dunia membawa pengaruh signifikan bukan hanya bagi Palestina.

Hal itu disampaikan Ahyudin selaku presiden dari Aksi Cepat Tanggap (ACT Foundation). Dia menyatakan krisis kemanusiaan Palestina merupakan hal yang fluktuatif. Jika disederhanakan, Palestina di abad XI meskipun jika mengacu fakta sejarah, sudah pasti adanya penguasaan yang eskalatif sehingga bicara Palestina merupakan sebuah narasi nestapa tentang Jalur Gaza, dan West Bank di mana ada Al Quds (Jerusalem) di dalamnya.

"Palestina hari ini adalah negeri langganan bombardemen. Negeri yang diusik kenyamanannya, dirusak fasilitas penopang kehidupannya, bahkan yang fenomenal dan menyakitkan dunia pada Jumat lalu (14/7), Masjid Al-Aqsha ditutup dan melahirkan gelombang protes dunia," ujar Ketua ACT, Ahyudin dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (9/12).

Kini terjadi pengakuan sepihak atas Jerusalem atau kawasan netral yang di dalamnya terdapat masjid Al-Aqsha. Dan bukan hanya pengakuan biasa yaitu pengakuan dari Amerika Serikat yang notabene merupakan anggota penting Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), sebuah organisasi yang seyogyanya berdiri netral menjaga harmoni dan kedamaian dunia.

"Dunia harus bersatu mempertahankan status Jerusalem sebagai kota suci Tiga Agama: Islam, Kristen, Yahudi, dan memasukkan Jerusalem Timur bagian dari Negara Palestina. Sikap ini berdasarkan keinginan kuat mencegah eskalasi kemarahan dan penolakan menjadi perlawanan fisik," ucap Ahyudin.

Jerusalem dengan Al-Aqsha memuat dimensi-dimensi yang terlalu kuat untuk bisa dikendalikan kekuasaan manapun. Pertama yaitu dimensi spiritual. Bujukan, lobby bahkan ancaman mungkin bisa mengendorkan bahkan melepaskan komunitas hingga sebuah bangsa untuk kepentingan ekonomi tetapi tidak untuk spiritual.

Ahyuddin mengatakan, penguasaan secara sepihak untuk aset spiritual sejumlah agama sekaligus memicu penolakan hingga perlawanan untuk mempertahankannya habis-habisan. Di dimensi politik, dunia sudah cukup lama mengikuti krisis Palestina dan memperoleh pemahaman memadai posisi dan kepatutan internasional seperti apa yang layak didukung dan sikap antarbangsa mana yang layak digugat.

Bagaimana Israel meraih pencapaian politiknya saat ini dan bagaimana Palestina diperlakukan selama ini juga sangat difahami dan dimaklumi dunia. Dia mengatakan, hal ini cukup untuk melihat bagaimana sikap dunia dipetakan dalam konstalasi hubungan Palestina-Israel. "Khusus untuk sikap Amerika Serikat atas Jerusalem, nyaris tak terdengar ada negara yang mendukungnya," ujar Ahyudin.

Ketiga, dalam dimensi sosial krisis Palestina telah membuka hati dunia dan membuka diri untuk menyantuni rakyat Palestina yang bahkan memberi ruang hidup bagi warga Palestina yang berdiaspora di banyak negara. Semangat Dunia Bersatu untuk Palestina memberi energi luar biasa seiring derita yang ditimpakan Israel atas Palestina dan itu sekaligus membuka mata dunia.

Pemerintah Amerika Serikat, dia mengatakan, saat ini tidak dalam posisi terbaiknya untuk menunjukkan eksistensi sebagai bangsa yang amat baik dalam melayani rakyatnya. AS demikian terang-terangan mengakui semua kebijakan Israel seiring dengan pengabaiannya atas kedaulatan Palestina. Sikap pemerintah AS, Ahyuddin mengatakan, menyebabkan suatu situasi benturan antar-bangsa. Dan jika Amerika Serikat mempertahankan sikapnya krisis kemanusiaan global akan terjadi di ambang mata.

"Amerika Serikat harus bersungguh-sungguh mempertimbangkan besarnya krisis kemanusiaan yang diakibatkan kekerashatiannya. Tidak masuk di akal mempertahankan sikap yang akan memicu krisis global, di mana tak satu pun bangsa memberi nilai positif atas sikap itu," ucap ketua ACT Foundation.

Dia menegaskan, tidak akan ada kemenangan hakiki bahkan jika AS menumpahkan semua kekuatan militernya untuk mempertahankan kekeras-hatian sikapnya kecuali hanya kesengsaraan global berbalut kemarahan yang terjadi. Namun di lain sisi pemerintah AS telah menyatukan dunia dan menempatkannya sebagai fokus perlawanan dunia atas kejahatan kemanusiaan sekaligus kesepakatan antar-bangsa untuk menjaga harmoni dunia. "Sikap Amerika Serikat menyatukan dunia menggalang perlawanan tanpa kata akhir yang meluas dan muncul dalam wujud yang tak terbayangkan," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement