Selasa 12 Dec 2017 06:17 WIB

Coba Dirayu Netanyahu, Eropa Malah Tekan Israel

Rep: Fira Nursya'bani, Fuji Eka Permana/ Red: Elba Damhuri
Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Elysee Palace di Paris, Prancis, Ahad (10/12). Macron mengutarakan penolakannya atas pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh AS.
Foto: Philippe Wojazer/Pool via AP
Presiden Prancis Emmanuel Macron (kiri) berbicara dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Elysee Palace di Paris, Prancis, Ahad (10/12). Macron mengutarakan penolakannya atas pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel oleh AS.

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu berupaya merayu negara-negara Eropa mengikuti kebijakan Amerika Serikat (AS) mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Alih-alih mendapat dukungan, ia justru ditekan sejumlah pihak dalam pertemuan yang berlangsung di Brussels, Belgia, Ahad (10/12) malam waktu setempat.

Netanyahu didesak memulai kembali proses perdamaian yang hampir mati di Timur Tengah, menyusul kritik luas terhadap keputusan Presiden AS Donald Trump terkait pengakuan Yerusalem pada Rabu (6/12) lalu. Rencana Trump itu juga diikuti rancangan pemindahan Kedutaan Besar AS untuk Israel dari Tel Aviv ke Yerusalem.

Salah satu pihak yang coba dirayu Netanyahu di Eropa adalah Presiden Prancis Emmanuel Macron. Mereka menggelar pertemuan selama tiga jam pada Ahad (10/12) malam di Paris. Selepas pertemuan itu, Presiden Macron tak mundur dari sikapnya menolak pengakuan AS atas Yerusalem.

"Pernyataan ini tidak akan membantu memperkuat keamanan, terutama keamanan warga Palestina dan Israel," kata Macron dalam konferensi pers bersama selepas melakukan pembicaraan dengan Netanyahu. Pada Sabtu (9/12), Macron juga telah berjanji akan meyakinkan Trump untuk menarik kembali keputusannya.

Netanyahu, pada konferensi pers yang sama, tidak dapat menerima penolakan Prancis. Netanyahu tetap bersikeras Yerusalem adalah ibu kota Israel, seperti Paris yang menjadi ibu kota Prancis.

Menurut dia, semakin cepat orang-orang Palestina menerima fakta Yerusalem adalah ibu kota Israel, semakin cepat pula keduanya bergerak menuju perdamaian.

"Di mana lagi ibu kota Israel selain Yerusalem? Yerusalem belum menjadi ibu kota siapa pun," ujar Netanyahu dalam konferensi pers tersebut, dikutip Time of Israel. Menurut dia, Yerusalem sudah menjadi ibu kota Israel selama 3.000 tahun dan telah menjadi ibu kota Negara Israel modern selama 70 tahun.

"Kami menghargai pilihan Anda. Dan saya tahu itu, sebagai teman, Anda menghormati kami. Dan juga penting untuk perdamaian," kata dia kepada Macron. Macron kemudian mengatakan kepada Netanyahu, pengakuan Trump terhadap Yerusalem bertentangan dengan hukum internasional.

Ia meminta Netanyahu untuk mendorong kemajuan perundingan perdamaian. "Saya mendesak perdana menteri untuk menunjukkan keberanian dalam berurusan dengan Palestina, untuk membawa kita keluar dari jalan buntu," kata Macron.

Macron juga mendesak Netanyahu membekukan pembangunan permukiman ilegal di wilayah Palestina yang dijajah Isreal.

Kaitan historis Eropa-Israel

Eropa memiliki kaitan historis dengan pendirian negara Israel. Salah satu argumen kuat guna pendirian negara Israel adalah penindasan yang dialami jutaan warga Yahudi di Eropa, menyusul agresi Jerman di bawah penguasaan Adolf Hitler sepanjang akhir 1930-an dan awal 1940-an.

Warga Yahudi yang terusir dari Eropa kemudian sebagian melarikan diri ke Palestina sembari mengupayakan pendirian negara Israel yang akhirnya terwujud pada 1948. Meski mendukung pendirian negara itu, hampir seluruh negara di Eropa belum mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Sejauh ini, baru Republika Ceska yang mengekor sikap AS selepas pengumuman pekan lalu. Negara Eropa lain yang memiliki hubungan dekat dengan Israel, seperti Hungaria, Yunani, dan Lithuania belum mengikuti langkah tersebut.

Selain menemui Macron, Netanyahu juga berupaya melobi menteri-menteri luar negeri Eropa di Brussels, Belgia. Kendati demikian, upaya itu juga dimentahkan Uni Eropa. Kepala diplomatik Uni Eropa, Federica Mogherini, menegaskan, Uni Eropa akan mendesaknya untuk melanjutkan negosiasi dengan Palestina.

Dia mengatakan, sebagian besar anggota Uni Eropa, telah menyatakan kekhawatirannya atas perubahan kebijakan Trump. Mogherini memperingatkan, keputusan tentang Yerusalem memiliki potensi untuk mengirim dunia mundur ke masa yang lebih gelap daripada yang telah ditinggali.

Mogherini mengulangi pendirian Eropa, satu-satunya solusi yang realistis untuk perdamaian Israel dan Palestina adalah solusi dua negara, dengan Yerusalem sebagai ibu kota kedua negara. Eropa juga mendesak garis perbatasan kembali ke status sebelum Perang Arab-Israel 1967. Selepas perang itu, Israel mencaplok Yerusalem Timur, tempat berlokasinya bangunan bersejarah umat Islam, Masjid al-Aqsha.

(Crystal Liestia Purnama, Pengolah: Fitriyan Zamzami)

sumber : Reuters/AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement