Sabtu 16 Dec 2017 19:57 WIB

Nasib Pengungsi Palestina di Lebanon dan Keputusan Trump

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Pengungsi Palestina (ilustrasi).
Foto: AP/Hatem Moussa
Pengungsi Palestina (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BEDDAWI -- Mahmoud Mashwra masih berusia 12 tahun saat ia putus sekolah untuk menjual permen di jalanan. Mashwra, yang keluarganya melarikan diri dari penindasan Israel di wilayah Palestina bertahun-tahun yang lalu, justru menemukan kehidupan suram di Lebanon.

Ia kesulitan menerima bantuan internasional dan mendapat perlakuan diskriminasi sebagai pengungsi. Mashwra kemudian mulai bekerja penuh waktu untuk membantu keluarganya bertahan hidup. "Saya pikir, saya akan kembali ke sekolah saat kembali ke Palestina," kata Mashwra, yang saat ini telah berusia 16 tahun, kepada Aljazirah.

Namun harapan tersebut sirna setelah Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Warga Palestina memandang Yerusalem Timur sebagai ibu kota negara mereka yang merdeka di masa depan.

Pengakuan AS, meski dikecam oleh masyarakat internasional, telah memberikan pukulan terhadap sekitar 280 ribu pengungsi Palestina yang tinggal di Lebanon. Banyak di antara mereka yang berharap suatu hari bisa pulang ke rumah mereka di Palestina.

Pengungsi Palestina di Lebanon diperlakukan sebagai penduduk kelas dua. Mereka dilarang bekerja di ladang, dilarang memiliki rumah, dipaksa tinggal di kamp-kamp yang rusak, dan dilarang mendapatkan pendidikan formal.

Mohamad Jabbar hanya menghasilkan 10 dolar AS per hari dari toko dagingnya. Jumlah tersebut hanya sepersepuluh dari jumlah besar yang bisa dia dapatkan jika pemerintah Lebanon mengizinkannya untuk berdagang di luar kamp yang dikawal militer di Beddawi. "Di sini seperti tinggal di penjara. Pemerintah mengontrol tempat tinggal saya dan tempat saya bekerja," ungkap Jabbar.

Warga Palestina tidak dapat menjalankan bisnis besar di Lebanon dan dilarang menjalani profesi dengan gaji yang layak. Diperkirakan dua pertiga dari mereka hidup dalam kemiskinan.

Pemerintah Lebanon tidak akan memberikan hak kewarganegaraan kepada pengungsi Palestina, karena khawatir hal itu bisa membuat mereka tinggal selamanya. "Ini adalah hipotesis yang kejam dan salah," ujar Bassam Khawaja, juru bicara Human Rights Watch yang bermarkas di Beirut.

"Tidak ada yang melarang Lebanon untuk menghormati hak asasi manusia Palestina dan menahan hak tinggal permanen atau kewarganegaraan mereka. Namun, generasi telah tumbuh tanpa perlindungan dasar," tambah dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement