Selasa 02 Jan 2018 14:43 WIB

Israel Naikkan Ambang Batas Penyerahan Bagian Yerusalem

Rep: Marniati/ Red: Ani Nursalikah
Suasana sidang parlemen Israel (Knesset).
Foto: Daily Sabah
Suasana sidang parlemen Israel (Knesset).

REPUBLIKA.CO.ID,  TEL AVIV -- Israel menetapkan ambang batas yang lebih tinggi untuk pemungutan suara di masa depan mengenai pembagian Yerusalem untuk Palestina yang menginginkan bagian timur kota tersebut sebagai ibu kota negara merdeka mereka di masa depan.

Amandemen yang disahkan parlemen Israel (Knesset) terhadap undang-undang yang ada diajukan 61 sampai 80 jumlah suara yang akan diminta pada 120 kursi Knesset untuk menyetujui setiap usulan yang menyerahkan bagian kota tersebut ke pihak asing.

 

Amandemen ini datang kurang dari sebulan setelah Presiden AS Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Keputusan Trump ini membuat marah orang-orang Palestina, pemimpin Timur Tengah dan dunia. Perundingan AS antara Israel dan Palestina telah dibekukan sejak 2014 namun, jika dilanjutkan kembali, mayoritas parlemen Israel yang khusus untuk menyetujui penyerahan bagian Yerusalem dapat mempersulit upaya mencapai kesepakatan damai.

 

Keputusan Trump pada 6 Desember lalu menimbulkan protes di Yerusalem. Palestina mengatakan Washington tidak dapat lagi berfungsi sebagai perantara perdamaian. Tawaran AS untuk menghidupkan kembali negosiasi yang dipimpin penasihat presiden dan menantu presiden, Jared Kushner, sejauh ini tidak menunjukkan kemajuan.

 

"Kewenangan menyerahkan sebagian tanah tidak berada di tangan orang Yahudi mana pun, juga orang-orang Yahudi," kata ketua partai koalisi Jewish Home Naftali Bennett yang mensponsori undang-undang tersebut.

 

Pejabat Palestina tidak segera hadir untuk mengomentari amandemen baru tersebut yang disahkan dengan suara 64 sampai 52. Kepala oposisi Ishak Herzog mengatakan Jewish Home memimpin Israel menuju bencana yang mengerikan.

 

Status Yerusalem adalah salah satu isu paling sensitif dalam konflik Israel-Palestina yang telah berlangsung puluhan tahun. Israel merebut Yerusalem Timur dalam perang Timur Tengah 1967 dan mencaploknya dalam sebuah langkah yang tidak diakui secara internasional.

 

Warga Palestina ingin Yerusalem Timur menjadi ibu kota negara masa depan yang juga akan mencakup Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza. Pada Ahad, partai Likud Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dengan suara bulat mendesak legislator dalam sebuah resolusi yang tidak mengikat untuk secara efektif menganeksasi permukiman Israel yang dibangun di Tepi Barat.

 

Komentator politik mengatakan keputusan tersebut dapat memperkuat dukungan sayap kanan untuk Netanyahu, yang dapat meminta mandat publik dalam pemilihan awal sambil menunggu kemungkinan dakwaan pidana terhadapnya atas kasus korupsi. Pemilu parlemen tidak akan berlangsung sampai November 2019 namun penyelidikan polisi dalam dua kasus dugaan korupsi terhadap Netanyahu dan ketegangan di antara mitra koalisi di pemerintahannya dapat mempercepat pemilu tersebut.

 

Beberapa ahli mengatakan apa yang dilakukan Jewish Home pada dasarnya untuk bersaing dengan Likud dalam memperoleh dukungan di antara basis sayap kanan. Hal ini merujuk pada undang-undang yang ada yang telah menetapkan ambang batas yang sama untuk menyerahkan wilayah dalam kesepakatan perdamaian.

 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement