Ahad 07 Jan 2018 14:21 WIB

Menteri Israel: Yerusalem Timur Bisa Dimiliki Palestina

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Elba Damhuri
Suasana kota yerusalem
Foto: Al Jazeera.com
Suasana kota yerusalem

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Israel masih membuka harapan bagi rakyat Palestina untuk menjadikan Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota mereka di masa depan. Hal ini sebagaimana diungkapkan Menteri Kerja Sama Regional Israel Tzachi Hanegbi.

"Kami memang mengklaim Yerusalem secara utuh sebagai Ibu Kota, tapi itu hanya sebuah klaim bukan sebuah diktat," kata kata Tzachi Hanegbi kepada Aljazirah, Ahad (7/1).

Tzachi Hanegbi merupakan salah satu anggota partai Likud yang mengusung Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Dia mengatakan, pernyataan sepihak yang dilakukan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 6 Desember lalu seharusnya tidak menghalangi klaim Palestina guna menjadikan Yerusalem Timur sebagai ibu kota mereka.

Yerusalem selalu menjadi inti permbicaraan damai Palestina-Israel. Negara zionis tersebut kemudian melanggar hukum internasional dengan mencaplok kawasan timur Yerusalem pada 1967. Mereka bersikeras kota itu merupakan ibu kota yang tak dapat dibagi-bagi.

Pengakuan sepihak Trump lantas membuat Palestina enggan melanjutkan perundingan damai kedua negara. Kendati, pernyataan Tzachi Hanegbi mengindikasikan negosiasi damai masih dapat diteruskan dan belum berakhir. Israel agaknya menghendaki pembentukan negara Palestina dengan kedaulatan seminim mungkin.

"Palestina dapat mengklaim Yerusalem Timur sebagai ibu kota dan kita dapat menegosiasikan sebuah kesepakatan. Meskipun kami mencaplok Yerusalem Timur, tetap saja masih bisa dinegosiasikan," kata Tzachi Hanegbi.

Meski demikian, awal pekan lalu Pemerintah Israel meloloskan undang-undang yang membuat Yerusalem tidak dapat dipecah belah. Kebijakan itu dinilai sebagian orang sebagai langkah fatal bagi kemungkinan terciptanya solusi kedua negara.

Hanegbi saat itu mengatakan, peraturan tersebut harus dibuat dan menyalahkan otoritas Palestina yang gagal untuk mencapai kesepakatan damai guna mengakhiri konflik Israel-Palestina. Tuduhan itu lantas dibantah Otoritas Palestina yang mengatakan jika negosiasi tidak tercapai disebabkan minimnya komitmen Pemerintah Israel.

Pejabat Senior Palestina Nasser al-Kidwa menilai pernyataan yang diungkapkan Tzachi Hanegbi merupakan sebuah omong kosong belaka. Ini, dia melanjutkan, lantaran adanya perbedaan antara kata-kata dan perbuatan mereka di lapangan.

Dia menambahkan, komite legislatif Israel bisa saja berbicara tentang perundingan damai, namun pemerintahan mereka menunjukkan kebijakan yang bertentangan dengan solusi kedua negara. Pencaplokan kawasan oleh militer dan pembangunan permukiman ilegal di Yerusalem Timur dan Tepi Barat tidak akan meredakan konflik.

Dia menegaskan, jika Israel memang menginginkan berakhirnya konflik, langkah awal yang dapat dilakukan adalah mengakui Yerusalem Timur sebagai Ibu Kota Palestina sebelum meneruskan perudingan damai. Palestina telah berkompromi terkait 78 persen lahan yang telah dicaplok Israel.

"Yerusalem tidak dapat dimonopoli oleh partai manapun. Palestina kini hanya berusaha membangun negara di 22 persen sisa kawasan di Tepi Barat dan Gaza," kata Nasser al-Kidwa.

Negosiasi dengan Hamas

Sementara, Israel mengaku tidak keberatan melakukan perbicangan dengan Hamas. Mereka juga siap bernegosiasi asalkan Hamas menerima prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh kuartet pialang perdamaian internasional dengan mengakui Israel, mematuhi perjanjian Palestina-Israel yang sebelumnya, dan menyudahi tindak kekerasan yang digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Hamas Osama Hamdan mengatakan, perbincangan tidak akan terjadi jika Israel menuntut hal tersebut. Dia melanjutkan, negosiasi dengan Israel adalah hal yang sia-sia di tengah kebijakan di atas tanah Palestina yang mereka jajah.

"Berdasarkan pengalaman, Israel tidak mencari resolusi konflik melainkan ingin mengendalikan rakyat Palestina. Pendudukan Israel harus diakhiri terlebih dulu," tegas Hamdan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement