REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Harun Husein, Wartawan Republika
Baitul Maqdis atau Al Quds atau Yerusalem, adalah indikator penting untuk melihat kondisi umat Islam. Apakah umat Islam kuat atau lemah, bersatu atau terpecah, akan dengan cepat berdampak pada kota ini.
Kota yang memang sangat diinginkan oleh para penguasa dan bangsa-bangsa, terutama penganut agama Abrahamik. Ya, sejarah selalu berulang. Bila umat Islam sedang kuat dan bersatu, maka Baitul Maqdis selalu berada dalam naungan Islam.
Sebaliknya, jika umat Islam sedang lemah dan berpecah, maka Baitul Maqdis selalu lepas ke tangan orang lain. Tarikh Islam, sejak era Khulafaur Rasyidin sampai dengan zaman now, merupakan cermin yang sangat jelas menunjukkan hal itu.
Pembebasan pertama Kabar gembira (bisyarah) pembebasan kota para nabi itu, sudah disampaikan Nabi Muhammad SAW. ”Perhatikan enam tandatanda hari Kiamat: pertama, wafatku; kedua, penaklukan Baitul Maqdis....” (HR Bukhari No 3217 dari sahabat’Auf bin Malik RA).
Dan, realisasi bisyarah segera cepat terwujud, tepat berurutan seperti yang disampaikan Nabi. Sebab, pembebasan itu hanya berlangsung kurang dari lima tahun sejak wafatnya Sang Nabi.
Nabi wafat pada Juni 632. Sedangkan, Baitul Maqdis dibebaskan pada April 637. Pembebasan itu terjadi 17 tahun sejak peristiwa Isra’ Mi’raj yang berlangsung pada 620. Pembebasan pertama ini, merupakan yang paling mulus. Ini sekaligus memperlihatkan kekuatan Islam yang sedang memunc ak.
Betapa tidak, setahun sebelum Khalifah Umar memasuki Baitul Maqdis, pa- sukan Muslim lebih dulu mengalahkan dua superpower, yaitu Romawi Byzantium dan Sassanid Persia, dalam dua perang habishabisan dan menentukan jalannya sejarah, yaitu Perang Yarmuk dan Perang Qadisiya.
Baca juga, Yahudi Aspal, Klaim Yerusalem dan Kepalsuan Akhir Zaman.
Romawi Byzantium dikalahkan secara telak dalam Perang Yarmuk oleh pasukan Muslim yang dipimpin Abu Ubaidah dan Khalid bin Walid. Sedangkan, Sassanid Persia dikalahkan, juga secara telak, dalam Perang Qadisiya, oleh pasukan Muslim yang dipimpin oleh Saad bin Abi Waqqash.
Kedua kemenangan desesif tersebut berhasil diraih kendati pasukan Islam berjumlah sedikit dan tertinggal dari sisi teknologi.
Bisyarah penaklukan kedua adikuasa itu juga pernah disampaikan Nabi: “Jika Kisra binasa maka tidak akan ada lagi Kisra lain sesudahnya dan jika Kaisar binasa maka tidak akan ada lagi Kaisar lain sesudahnya. Dan demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh kalian akan mengambil perbendaharaan kekayaan keduanya di jalan Allah” (HR Bukhari).
Peristiwa itu kemudian terjadi. Setelah Perang Qadisiya yang diikuti pembebasan Al Madain (Ctesiphon), ibu kota SassanidPers ia, sisa pasukan terakhir Persia dikalahkan dalam pertempuran Nihawand pada 642.
Setelah itu kekaisaran Persia tamat, dan tak pernah ada lagi kisra yang muncul. Sedangkan, riwayat kekaisaran Romawi berakhir dengan penaklukan Konstantinopel, ibu kota Romawi Byzantium, oleh Mu- hammad Al Fatih pada tahun 1453, dan setelahn ya kekaisaran Romawi pun tutup buku.
Memang, di Barat, pada saat itu, sempat muncul pula Kekaisaran Romawi Suci (Holy Roman Empire), dengan kaisar terkenalnya yang bernama Charlemagne. Kekaisaran ini beribu kota Aachen, yang merupakan kota bekas tempat mantan presiden BJ Habibie menimba ilmu di Jerman.
Tapi, betapapun namanya mirip, dan kaisar Romawi Suci ini dimahkotai oleh Paus di Roma, namun tidak ada hubungan genealogis dengan kekaisaran Romawi yang didirikan Augustus Caesar.
Setelah menang dalam dua peperangan besar tersebut, pasukan Muslim kemudian menuju Baitul Maqdis, dan mengepungnya selama enam bulan, sejak November 636 sampai dengan April 637. Akhirnya, Yerusalem menyerah dengan syarat, kota itu diserahk n langsung kepada Khalifah Umar bin Khattab. Dan, kunci kota itu kemudian diserahkan oleh Patriark Sophronius, wakil Romawi Byzantium di Yerusalem, kepada Khalifah Umar.
Jatuh ke tangan Pasukan Salib
Selama ratusan tahun kemudian, Baitul Maqdis berada dalam naungan Islam. Yang berganti hanya kekhalifahan atau daulah yang memerintahnya. Setelah berada di bawah Khalifah Rasyidun yang berpusat di Madinah, Baitul Maqdis berturut-turut berada di bawah Dinasti Umayyah yang berpusat di Damaskus; Dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Seiring melemahnya Abbasiyah, kontrol efektif kawasan Asia Tengah, Syam, sampai dengan Asia Kecil (Anatolia), berada di tangan Kesultanan Seljuk Turki, sedangkan Kekhalifahan Baghdad hanya menjadi sim-bol. Sementara, Mesir dan wilayah tanduk Afrika diperintah oleh Dinasti Fathimiyah.
Belakangan, Kesultanan Seljuk Turki (Selj uk Raya) yang berpusat di Isfahan pun terbagi dua, dengan terbentuknya Kesultanan Seljuk Rum. Terpecahnya Kesultanan Seljuk Raya itu terjadi sepeninggal Sultan Alp Arsalan, salah satu sultan legendaris Seljuk Raya, yang berjasa mengakhiri pengaruh Romawi Byzantium di sebagian besar Anatolia. Kesultanan Seljuk Rum didirikan Kilij Arsalan, salah seorang keponakan jauh Alp Arsalan.
Selain itu, sebagian wilayah Anatolia juga dikuasai oleh negara-negara kecil yang disebut beylik-beylik (setara dengan emirat atau principality--Red).
Seljuk dan Fathimiyah, yang kebetulan menganut mazhab berbeda, sering terlibat persaingan, konflik, dan pertikaian. Ter utama, dalam memperebutkan pengaruh di wilayah Syam dan Hijaz, yang merupakan lok asi tiga tanah suci, yaitu Makkah, Madinah, dan Baitul Maqdis. Perpecahan dan pertikaian itulah, yang kemudian berujung pada terlepasnya Baitul Maqdis.
Saat Pasukan Salib bergerak dari Eropa, yang pertama kali berhadapan dengan mereka adalah Kesultanan Seljuk Rum. Pada awal 1097, Pasukan Salib ‘tak resmi’ yang terdiri dari orang-orang biasa (people cru-sade) yang dipimpin Peter Amien, memasuki wilayah Anatolia, dengan mudah dikalahkan oleh pasukan Kilij Arsalan. Namun, tidak demikian dengan Pasukan Salib I yang dipimpin oleh para pangeran atau dikenal sebagai Princes’ Crusade.
Pasukan Salib I yang dipimpin Godrey, Raymond, dan Bohemond, memasuki Anatolia pada pertengah- an 1097 dan mereka berhasil mengalahkan Seljuk Rum, memaksa Kilij Arsalan mundur dan memindahkan ibu kotanya dari Iznik (Nikosia) di tepi Laut Aegean, ke Konya.
Maka, pasukan Salib pun melanjutkan berg erak menuju wilayah Syam, yang merupak an daerah kekuasaan Kesultan Seljuk Raya dan mengambil alih satu per satu kota dan benteng Muslim, sampai akhirnya mereka tiba Intakiyyah (Antioch). Selama lima bulan mereka mengepung kota tersebut, sejak Oktober 1097. Pada Maret 1098, kota penting di utara Suriah itu akhirnya jatuh.