Ahad 04 Feb 2018 16:36 WIB

PLO Desak DK PBB Akui Palestina Perbatasan 1967

Komite akan memulai kembali kesepakatan "Protokol Paris" pada 1994

Palestina
Palestina

REPUBLIKA.CO.ID,  RAMALLAH - Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) mendesak Dewan Keamanan Persatuan Bangsa-Bangsa (DK PBB) untuk mengakui negara Palestina di dalam perbatasan 1967. Komite tersebut kemudian akan merumuskan rencana untuk melepaskan diri dari Israel, dalam sektor keamanan dan ekonomi.

Komite itu juga akan memulai kembali kesepakatan "Protokol Paris" pada 1994. Kesepakatan itu membentuk sebuah serikat bea cukai antara Israel dan Otoritas Palestina. Israel seharusnya mengumpulkan pajak pertambahan nilai, bea impor, dan pajak lainnya atas nama Otoritas Palestina dan menyerahkannya secara bulanan.

Dilansir di Haaretz, komite tersebut telah memutuskan, pimpinan Palestina akan meminta Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di Den Haag untuk membentuk sebuah komisi guna menarik pengakuan atas negara Israel selama Israel tidak mengakui Palestina.

Bulan lalu, Presiden Palestina Mahmoud Abbas telah meminta Uni Eropa untuk mengakui negara Palestina di dalam perbatasan 1967. Pernyataan ini disampaikan dalam konferensi pers bersama dengan Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini di Brussels.

Abbas mengatakan, pengakuan terhadap Palestina tidak akan menjadi penghalang bagi perdamaian. Menurutnya, satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian dengan Israel adalah melalui negosiasi yang dipimpin secara internasional.

Abbas menambahkan, Uni Eropa adalah salah satu mitra utama dalam membangun negara Palestina. Palestina akan mengupayakan implementasi penuh dari resolusi Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.

Dalam konferensi pers tersebut, Mogherini mengulangi komitmen Uni Eropa untuk berinvestasi dalam proses pembangunan negara Palestina. "Ini bertujuan untuk meyakinkan orang-orang Palestina dan Presiden Abbas mengenai dukungan terus-menerus kami, termasuk keuangan, melalui UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina," kata Mogherini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement