Jumat 09 Mar 2018 12:28 WIB

Perempuan Palestina Nilai Hak Dasar Mereka Belum Terpenuhi

Jurang pemisah dalam kerangka kerja hukum masih ada.

 Pengunjuk rasa perempuan Palestina mengambil posisi di dekat pemukiman yahudi Bet El, Tepi Barat, Palestina, Sabtu (10/10).  (REUTERS/Mohamad Torokman)
Pengunjuk rasa perempuan Palestina mengambil posisi di dekat pemukiman yahudi Bet El, Tepi Barat, Palestina, Sabtu (10/10). (REUTERS/Mohamad Torokman)

REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Rakyat Palestina pada Kamis (8/3) mengatakan perubahan baru-baru ini pada peraturan mengenai perempuan sebelum Hari Perempuan Internasional tidak memenuhi aspirasi mereka sebab perubahan itu gagal menangani hak dasar perempuan.

Perdana Menteri Palestina Rami Hamdallah pada Senin (5/3) mengumumkan serangkaian perubahan peraturan yang akan memungkinkan perempuan Palestina mengajukan permohonan paspor, membuka rekening bank dan mengganti sekolah buat anak mereka yang sebelumnya hanya dinikmati oleh kaum pria.

Ia juga mengajukan perubahan peraturan yang menunggu persetujuan Presiden Mahmoud Abbas guna mengakhiri pengurangan hukuman atas mereka yang didakwa melakukan pembunuhan kehormatan terhadap perempuan. Namun perubahan itu gagal menangani tuntutan mendasar yang telah lama diperjuangkan oleh kaum perempuan, kata para pegiat perempuan dan ahli hukum.

Amal Ghdban, wanita pengusaha Paletina yang berusia 54 tahun dan pegiat kepentingan masyarakat, mengatakan Hari Perempuan Internasional mengingatkan diri mengenai jutaan perempuan yang bekerja di seluruh dunia guna memperjuangkan kesetaraan, keadilan sosial dan martabat. Tapi kenyataannya di Palestina keadaannya masih jauh dari harapan kaum perempuan.

Amal Ghadban menggambarkan perubahan peraturan baru tersebut sebagai "langkah di arah yang benar", tapi ia tetap berpendapat jurang pemisah dalam kerangka kerja hukum masih ada kendati kaum feminis telah berupaya selama beberapa dasawarsa belakangan.

photo
Perempuan Palestina membawa barang di tengah reruntuhan gedung di Jalur Gaza.

"Jujur saja, perempuan pada 1980-an, di tengah gerakan sayap-kiri yang merebak dan perlawanan rakyat di wilayah pendudukan Tepi Barat Sungai Jordan dan Jalur Gaza, bersama dengan perluasan organisasi perempuan yang berusaha mendorong partai politik dalam masalah perempuan, telah berhasil mengangkat kesadaran perempuan mengenai hak mereka," katanya.

"Tapi semua upaya itu tidak dikukuhkan oleh hukum," ia menambahkan.

"Harapannya ialah perjuangan perempuan dan jumlah tanggung-jawab yang diemban perempuan akan dihadiahi oleh seperangkat hukum yang ditetapkan pada 1996 dan selanjutnya," kata Amal Ghadban. Tapi "sayangnya, sumbangan perempuan pada masa itu diabaikan dan hanya lelaki mendapat sorotan".

Menurut data terkini dari Biro Pusat Statistik Palestina, perempuan berjumlah 49,2 persen dari masyarakat Palestina. Namun keterwakilan perempuan dalam kehidupan masyarakat rendah dan mereka masih berjuang untuk memperoleh hak sipil, sosial, ekonomi serta politik.

Ashraf Abu Al-Hayya, Penasehat Hukum di organisasi hak asasi manusia Al-Haq, juga mengecam perubahan baru tersebut sebab "tak ada yang bisa dibanggakan dalam mengizinkan perempuan memperoleh hak dasar semacam itu hari ini".

"Ketika kita berbicara mengenai hak perempuan, kita berbicara mengenai hak dasar dalam kerangka kerja berdasarkan kesepakatan internasional tempat Palestina telah bergabung. Perempuan Palestina patut menerima lebih besar dari ini, mengingat pengorbanan mereka dalam perjuangan nasional Palestina dan perjuangan bagi hak mereka," katanya.

Ia mendesak pemerintah melakukan tindakan berani ke arah hak perempuan. "Ada masalah di dalam seluruh sistem hukum berkaitan dengan perempuan, kepribadian hukum perempuan nyaris tak ditangani sama sekali. Ada sejumlah hukum yang memerlukan langkah berani, lebih dari sekedar mengizinkan perempuan mendaftarkan anak mereka di sekolah atau membuka rekening bank," demikian kesimpulang Ashraf Abu Al-Hayya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement