Rabu 04 May 2016 07:24 WIB

Perpecahan Etnis dan Sektarian, Hambatan Politik Irak

Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi.
Foto: AP
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Pembaruan politik rapuh di Irak menghadapi kebuntuan setelah ribuan pengikut tokoh Syiah kenamaan Moqtada As-Sadr menerobos Zona Hijau yang dijaga ketat.

Banyak pengamat mengatakan peristiwa tersebut mengancam akan memperparah perpecahan di kalangan faksi politik, pada saat negara itu berperang melawan kelompok ISIS yang merebut banyak wilayah di bagian barat dan utara Irak.

Pada Sabtu (30/4), ribuan pengikut As-Sadr menerobos ke dalam Zona Hijau yang dijaga ketat tanpa campur tangan pasukan keamanan. Ini memperlihatkan betapa rapuhnya kekuasaan negara.

Belakangan, pemerintah dikecam keras karena tidak mampu melindungi anggota parlemen dan pegawai pemerintah yang dipukuli pemrotes. Sejak September 2014, ketika Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi memangku jabatan, ia berjanji akan melakukan pembaruan untuk meredakan ketegangan sektarian dan menghentikan korupsi.

Namun, partai politik tangguh di Irak, termasuk Partai Dawa Islam yang dipimpin Al-Abadi membuat dia kesulitan menerobos pengaruh mereka, kata para pengamat. Menurut Undang-Undang Dasar Irak, proses politik di negeri tersebut dibangun atas sistem pembagian kekuasaan --yang juga dikenal sebagai sistem kuota-- dengan tujuan mengizinkan semua faksi sektarian dan anggota suku Irak ikut dalam pengambilan keputusan.

"Sistem pembagian kekuasaan dipandang sebagai kompromi bagi faksi etnik dan sektarian Irak, yang sangat terpecah dan menderita kekurangan kepercayaan setelah serbuan pimpinan AS pada 2003," kata Ibrahim Al-Ameri, pengajar ilmu politik di satu perguruan tinggi Baghdad.

Namun, sistem pembagian kekuasaan, yang juga meliputi pembagian kursi kabinet telah lama dikritik karena memicu kehadiran calon yang tidak berkualitas dan mendorong korups. "Setelah 13 tahun serbuan pimpinan AS, partai politik telah berubah menjadi organisasi yang melayani kepentingan mereka sendiri, padahal mereka mesti mewakili kelompok minoritas, faksi sektarian dan etnik mereka," kata Al-Ameri.

"Tugas paling sulit Al-Abadi ialah tak ada satu pun parai politik itu yang mau dengan mudah kehilangan perolehan mereka. Al-Abadi tak bisa menghadapi partai itu, apalagi, Partai Dawa Islamnya sendiri," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement