Kamis 27 Apr 2017 00:21 WIB

Intelijen Prancis Yakin Serangan Gas Sarin dari Kubu Assad

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Ani Nursalikah
Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Foto: Reuters
Presiden Suriah Bashar al-Assad.

REPUBLIKA.CO.ID, KHAN SHEIKHOUN -- Badan intelijen Prancis menyimpulkan serangan gas sarin ke kota Khan Sheikhoun, Suriah pada 4 April lalu dilakukan militer Bashar al Assad atau loyalisnya. Menurut laporan, terungkap Assad atau loyalisnya yang memerintahkan serangan tersebut.

Kesimpulan tersebut merupakan hasil dari laporan intelejensi yang dibuat militer Prancis dan badan intelijen asing, yang sudah disaksikan oleh Reuters. Laporan setebal enam halaman tersebut menyatakan analisis itu dapat mencapai kesimpulan berdasarkan sampel yang mereka dapatkan di lapangan dari serangan itu. Selain itu mereka juga mengambil sampel darah korban.

Adapun beberapa unsur yang ditemukan dari penelitian sampel tersebut adalah hexamine yang merupakan ciri khas sarin yang diproduksi oleh pemerintah Suriah.

"Dinas intelijen Prancis menganggap hanya Bashar al Assad dan sekutunya yang paling berpengaruh saja yang dapat memberi perintah untuk menggunakan senjata kimia," kata laporan tersebut, Kamis (26/4).

Dalam laporan tersebut juga dinyatakan kelompok militan yang berbasis di daerah tersebut tidak memiliki kapasitas untuk mengembangkan atau meluncurkan serangan (gas) tersebut. Sedangkan jika ini dituduhkan kepada kelompok ISIS, mereka tidak berada di lokasi.

Sementara itu kepada AFP pada 13 April lalu, Assad berdalih serangan tersebut dibuat-buat dan tidak dapat dipercaya. Mengingat arus korban massal yang dibawa ke rumah sakit di Suriah dan Turki hanya dalam waktu singkat. Serta banyaknya aktivitas daring yang menunjukkan para korban dengan gejala neurotoksik.

Serangan gas beracun di basis pemberontak Suriah itu membuat Amerika Serikat (AS) meluncurkan serangan udara dengan rudal ke pangkalan udara Suriah. Diketahui ini adalah serangan langsung pertamanya terhadap pemerintah Assad dalam konflik tersebut.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement