Kamis 22 Jun 2017 14:15 WIB

Mampukah Mohammad Bin Salman Menjadi Raja Saudi?

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
Mohammad bin Salman Al Saud
Foto: [ist]
Mohammad bin Salman Al Saud

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Putra dari Raja Salman yang saat ini juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan Arab Saudi, Mohammad bin Salman diangkat sebagai putra mahkota baru, Rabu (21/6). Ia dikukuhkan sebagai penerus takhta kerajaan di garis pertama.

Keputusan itu diambil Raja Salman dengan memecat keponakannya Mohamed bin Nayef. Ia digeser dari posisi pertama pewaris takhta, meski hal ini dinilai melawan tradisi kerajaan Arab Saudi.

Mohammed bin Salman selama ini dikenal sebagai figur reformis. Ia berusaha membangun perekonomian Arab Saudi, setelah era minyak bumi yang terus menurun dan membuat negara itu kurang memiliki keuntungan dari sektor energi, yang sekaligus sumber kekayaan utama.

Pria berusia 31 tahun itu juga populer di kalangan anak-anak muda. Ia berupaya membuat ruang gerak dari generasi muda Arab Saudi menjadi lebih terbuka dan mengikuti gaya hidup moderen. Selain itu, ia juga memproyeksikan pengaruh negara, yang biasanya cenderung berhati-hati menerima sesuatu yang baru.

Mohammed Bin Salman melakukan reformasi ekonomi dengan melakukan pendekatan di berbagai bidang bisnis yang baru. Ia nampaknya hendak bekerja sama dengan sejumlah perusahaan swasta dan disebut akan membangun bioskop-bioskop.

Tak ketinggalan, ia nampaknya juga hendak memungkinkan sebuah konser skala internasional yang mampu menjadi sumber baru devisa negara diselenggarakan di Arab Saudi. Meski demikian, penonton yang diizinkan hadir kemungkinan besar hanyalah pria, untuk sementara waktu.

Ini semua sesuai dengan visi dari Mohammed bin Salman, bahwa pada 2030 reformasi eknomi kerajaan Arab Saudi bisa dilakukan secara besar-besaran. Negara itu, tidak akan lagi bergantung hanya dari sektor energi, yaitu minyak bumi.

Hanya saja, Mohammed bin Salmen dianggap terlalu muda menjadi seorang penerus kerajaan. Meski penunjukkan sebagai pewaris takhta nomor satu disetujui oleh 31 dari 34 anggota dewan Arab Saudi, namun tak sedikit pejabat yang masih meragukan kemampuannya.

Beberapa pejabat Arab Saudi mengatakan apa yang hendak dilakukan Mohammed bin Salman dalam revolusi budaya adalah reformasi ekonomi. Namun, ada bahaya di mana hal itu menimbulkan pertentangan di kalangan konservatif. "Masalah dari semuanya adalah basis selalu lebih konservatif dari kepemimpinan," jelas pejabat itu.

Terlepas dari peringatan itu, selama ini ulama garis keras yang juga mempengaruhi kekuasaan dan karakter Arab Saudi telah menunjukkan penolakan terhadap reformasi kerajaan. Tak ada istilah revolusi menjadi yang lebih baru, jika hal itu diangap bertentangan dengan nilai-nilai tradisional dan budaya berlaku sejak berdirinya negara.

Selain itu, meski dikenal cerdas, namun sejumlah sisi kontroversial dirinya terlalu tak menarik untuk tidak disorot. Pertama adalah Moahmmed bin Salman diyakini sebagai sosok utama di balik serangan berdarah militer Arab Saudi di Yaman.

Agresi itu diinstruksikan olehnya yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan Arab Saudi. Perang melawan Houthi di Yaman pada 2015 lalu hingga kini berujung pada tewasnya ribuan warga sipil tak berdosa, serta membuat mereka harus bertahan hidup dalam penderitaan karena kekurangan makanan dan kehilangan harta benda. Sampai saat ini, perang Yaman tak kunjung selesai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement