Rabu 02 Aug 2017 15:47 WIB

Qatar Ragukan Masa Depan Dewan Kerja Sama Teluk

Rep: Puti Almas/ Red: Teguh Firmansyah
 KTT Dewan Kerja Sama Teluk (ilustrasi).
Foto: AP Photo/Hasan Jamali
KTT Dewan Kerja Sama Teluk (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Menteri Pertahanan Qatar, Khalid bin Mohammed al-Attiyah meragukan masa depan Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), jika kelompok negara yang dipimpin oleh Arab Saudi terus melakukan blokade parsial terhadap Qatar.

Berbicara kepada Aljazirah pada Selasa (1/8), al-Attiyah mengatakan kebuntuan politik yang sedang berlangsung tidak dapat membantu negara manapun yang terlibat dalam krisis ini. "Semakin kita menunggu, semakin krisis berkepanjangan, saya pikir ini akan lebih dan lebih memperburuk hubungan lagi," kata dia.

Al-Attiyah juga mengatakan, jika negara-negara Teluk terus bertahan dalam situasi buntu ini, GCC akan terancam. Dia percaya Emir Kuwait Sabah Al-Ahmad Al Jaber Al Sabah tidak akan membiarkan situasi ini berlangsung lama.

Sheikh Sabah telah berusaha menengahi Arab Saudi, Bahrain, Mesir dan Uni Emirat Arab (UEA) yang memutuskan hubungan diplomatik, komersial, dan transportasi dengan Qatar pada 5 Juni lalu. Hal ini karena ia merasa khawatir, krisis akan memberikan dampak besar di wilayah tersebut.

Al-Attiyah menambahkan, dia yakin ada langkah-langkah yang bisa diambil untuk mengatasi krisis tersebut. "Qatar, sejak hari pertama, meminta adanya dialog dan saya rasa ini berlaku di GCC. Kami semua mendukung Yang Mulia Sheikh Sabah dari Kuwait dan kami mempercayai kebijaksanaannya. Saya pikir ini adalah arah yang kita lihat saat ini," ungkap dia.

Pernyataan Al-Attiyah disampaikan dua hari setelah Menteri Luar Negeri dari empat negara Arab itu bertemu di ibukota Bahrain, Manama, pada Ahad (30/7). Pada pertemuan tersebut keempat negara itu mengatakan, mereka hanya akan melakukan dialog jika Doha menyetujui permintaan tertentu.

"Keempat negara tersebut siap berdialog dengan Qatar dengan syarat Qatar dapat mengumumkan kesediaannya untuk menghentikan pendanaan terorisme dan ekstremisme, serta memberikan komitmennya untuk tidak mencampuri urusan luar negeri negara lain dan menanggapi 13 tuntutan lainnya," ujar Menteri Luar Negeri Bahrain Sheikh Khalid Bin Ahmed al-Khalifa, dikutip Aljazirah.

Pada 22 Juni lalu, kelompok negara yang dipimpin Arab Saudi itu mengeluarkan daftar tuntutan 13 poin sebagai prasyarat untuk mencabut sanksi terhadap Qatar. Tuntutan itu termasuk menutup stasiun TV Aljazirah, membatasi hubungan dengan Iran, dan mengusir tentara Turki yang ditempatkan di negara tersebut.

Qatar telah menolak permintaan tersebut dengan keras. Qatar mengatakan sanksi yang diberlakukan oleh keempat negara tersebut telah melanggar hukum internasional.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement