Jumat 04 Aug 2017 03:15 WIB

Para Pengungsi Remaja tak Berencana Kembali ke Suriah

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Bilal Ramadhan
Anak-anak pengungsi bermain sepak bola di desa Jibreen selatan Aleppo, Suriah,
Foto: AP / Hassan Ammar
Anak-anak pengungsi bermain sepak bola di desa Jibreen selatan Aleppo, Suriah,

REPUBLIKA.CO.ID, AMMAN -- Lebih dari setengah pengungsi remaja Suriah tidak berencana untuk pulang secara permanen ke negaranya, kecuali perang di negara mereka berakhir dan ISIS berhasil dibasmi. Informasi ini didapatkan berdasarkan survei tahunan Burson-Marsteller Arab Youth Survey di Yordania dan Lebanon.

"Dunia jarang menyaksikan eksodus dalam skala yang telah kita lihat dalam beberapa tahun terakhir ini," kata Don Baer, Chairman dan CEO perusahaan komunikasi Burson-Marsteller, dikutip CNN.

"Mengelola krisis pengungsi ini adalah tantangan kemanusiaan global, dan tidak hanya memerlukan pemahaman menyeluruh tentang situasi ini, tetapi juga wawasan langsung tentang pandangan orang-orang yang telah kehilangan tempat tinggal dan mata pencaharian mereka," tambah dia.

Mayoritas pengungsi Suriah muda yang disurvei, 66 persen mengatakan mereka tidak percaya Trump akan mengubah jalannya konflik. Sementara 23 persen mengatakan keadaan justru akan semakin memburuk dengan adanya Trump di Gedung Putih.

Sebanyak 49 persen dari pengungsi remaja Suriah itu mengatakan Rusia memiliki dampak positif terhadap konflik tersebut. Sedangkan 46 persen di antaranya tidak setuju dengan hal itu. Ketika ditanya apakah ISIS telah jauh melemah dibandingkan dengan tahun lalu, 77 persen mengatakan ya.

Persentase ini lebih tinggi daripada persentase remaja di negara-negara Timur Tengah lainnya, yang diajukan pertanyaan yang sama, sebanyak 61 persen. Ketika para pengungsi remaja itu ditanya langkah apa yang harus diambil sebelum mereka kembali ke Suriah, 47 persen mengatakan mereka ingin agar perang bisa berakhir.

Sementara 25 persen mengatakan ISIS harus segera meninggalkan Suriah dan delapan persen mengatakan mereka perlu melakukan perbaikan ekonomi. Lebih dari seperempat pengungsi remaja yang disurvei setuju bahwa tidak akan ada kesepakatan damai jika Presiden Assad tetap memerintah Suriah.

Namun, 71 persen dari mereka mengatakan berakhirnya pertarungan lebih penting daripada menyingkirkan Assad dari kekuasaan. Sebanyak 54 persen mengatakan mereka tidak yakin bisa hidup kembali secara permanen di negaranya dan hanya 42 persen yang menyakini.

Untuk melakukan survei tersebut, Burson-Marsteller melakukan wawancara tatap muka dengan 400 pengungsi remaja Suriah berusia 18-24 tahun, yang terbagi rata antara pria dan wanita.

Perang sipil Suriah, yang kini memasuki tahun keenam, telah menyebabkan lebih dari 320 ribu orang tewas dan menguras biaya 226 miliar dolar AS dari kas nasional, menurut Bank Dunia. Perang telah membuat enam juta orang Suriah mengungsi di dalam negeri dan memaksa lebih dari lima juta lainnya untuk melarikan diri ke kamp-kamp penampungan di Turki, Irak, Yordania, dan Lebanon.

Arus pengungsi telah membebani sejumlah negara tetangga Suriah itu. Mereka terbebani dalam hal keuangan dan kapasitas keamanan, terutama mengingat adanya kekhawatiran teroris mungkin bersembunyi di antara gelombang pengungsi.

Arus pengungsi besar-besaran juga terjadi Eropa, sehingga memicu reaksi politik. Isu ini kemudian terjadi juga di AS, terlebih setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan penerimaan pengungsi Suriah di Eropa sangat berbahaya dan merusak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement