Senin 30 Oct 2017 10:15 WIB

Pemimpin Kurdi Barzani Mundur

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Teguh Firmansyah
Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier bersama pemimpin Kurdi, Massoud Barzani di Irbil.
Foto: ap
Menteri Luar Negeri Jerman Frank-Walter Steinmeier bersama pemimpin Kurdi, Massoud Barzani di Irbil.

REPUBLIKA.CO.ID, IRBIL -- Parlemen Kurdi Irak  menyetujui permintaan Masoud Barzani, presiden Pemerintah Daerah Kurdistan Irak (KRG), untuk tidak memperpanjang masa jabatannya yang berakhir pada 1 November. Persetujuan tersebut dikeluarkan dalam sebuah sesi tertutup pada Ahad (29/10) di ibu kota regional Irbil.

Keputusan itu diambil lebih dari sebulan setelah referendum kemerdekaan kontroversial yang dipelopori oleh Barzani. Referendum ini telah memicu pertempuran antara pemerintah Irak dan pasukan Peshmerga Kurdi.

"Saya, Masoud Barzani, Peshmerga, akan terus bersama bangsa kami dan Peshmega yang kami dicintai dalam upaya untuk mencapai hak-hak negara kami dan melindungi prestasi bangsa kami," tulis Barzani dalam sebuah surat untuk parlemen.

Menurut asistennya, Hemim Hawrami, dia juga akan tetap berada dalam politik Kurdi sebagai pemimpin Dewan Politik Tinggi. Dewan Politik Tinggi KRG dibentuk untuk menggantikan Dewan Referendum Tinggi yang memimpin fase pascareferendum.

Pemimpin veteran Kurdi dan kepala Partai Demokratik Kurdistan (KDP) pada awalnya mengatakan Barzani akan mengundurkan diri setelah masyarakat Kurdi Irak melakukan pemungutan suara pada 1 November. Namun pemungutan suara telah ditunda selama delapan bulan, sehingga tidak jelas apa yang akan terjadi pada kursi kepresidenan untuk sementara waktu.

Seperti dilansir dari Aljazirah, rumor Barzani akan mengakhiri masa jabatan kepresidenannya yang telah dipegang selama 12 tahun, telah beredar selama dua pekan ini. Masa jabatannya telah berakhir secara resmi pada Agustus 2015.

Pada Sabtu (28/10), media Kurdi melaporkan Barzani telah mengirim surat kepada parlemen mengenai bagaimana kekuasaan harus dibagi begitu dia tidak lagi bertugas. Barzani telah memberi isyarat, dia ingin membagi kekuasaan presiden antara pemerintah daerah, parlemen, dan pengadilan.

Keputusan Barzani untuk turun, tentu membuka kesempatan yang luas bagi para calon presiden KRG. Namun beberapa wilayah Kurdi percaya, pengunduran diri Barzani hanya memberikan konsekuensi kecil.

Dia dinilai akan tetap berada di belakang, sementara keluarganya masih akan mempertahankan cengkeramannya pada KRG. Mungkin Nechirvan Barzani, keponakannya yang menjabat sebagi perdana menteri KRG, akan mengambil alih posisinya sementara.

Barzani baru saja mengaktifkan kembali parlemen untuk mendapatkan persetujuan referendum pemisahan diri yang dilakukan pada 25 September lalu. Referendum ini akan menjadi warisannya setelah ia memilih untuk turun.

Pada 2016, dia berkata, "Di hari kita mendapatkan Kurdi yang merdeka, saya akan berhenti menjadi presiden Kurdi." Ia kemudian melanjutkan referendum yang mendapat pertentangan dari beberapa sekutu terdekatnya, terutama Amerika Serikat (AS).

Referendum menghasilkan suara "ya", tapi reaksi politik dan diplomatik datang sebagai kejutan yang tidak menyenangkan. Pasukan federal Irak, dalam dua hari, mengambil alih wilayah-wilayah sengketa yang dikuasai Kurdi selama beberapa tahun terakhir.

Kurdi kehilangan Kirkuk yang kaya minyak. Kirkuk merupakan wilayah yang diambil oleh pasukan Peshmerga ketika militer Irak meninggalkan kota tersebut dalam menghadapi ISIS pada 2014, namun tidak berada dalam wilayah otonomi KRG.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement