Selasa 27 Feb 2018 15:45 WIB

Ada Rusia dan Iran di Balik Matinya Anak-Anak Suriah

Serangan gas militer Suriah menyebabkan kematian orang-orang tak bersalah di Ghouta.

Rep: Marniati, Umi Nur Fadhilah/ Red: Elba Damhuri
Dua orang anak memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Desa Shifunieh, Ghouta Timur, Suriah, Ahad (25/2).
Foto: Mohammed Badra/EPA-EFE
Dua orang anak memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Desa Shifunieh, Ghouta Timur, Suriah, Ahad (25/2).

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pejabat kesehatan di daerah kantong pemberontak Ghouta Timur menuduh pasukan Pemerintah Suriah menggunakan gas klorin dalam serangan pengeboman udara di pinggiran Kota Damaskus. Pertahanan Sipil Suriah, yang juga dikenal dengan nama Pasukan Helem Putih, mengatakan setidaknya satu anak meninggal dengan dugaan keracunan.

Dilansir Aljazirah, Senin (26/2), anak tersebut meninggal akibat kehabisan tenaga. Menurut pihak sementara oposisi Suriah, korban menunjukkan gejala konsisten dengan paparan gas klorin beracun.

Kementerian kesehatan oposisi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa beberapa orang dirawat di fasilitas medis di dekat Al-Shifoniyah. Gejalanya meliputi dyspnea, iritasi intensif pada selaput lendir, iritasi mata, dan pusing.

Kementerian tersebut melansir, sedikitnya 18 orang dirawat dengan nebulizer (alat terapi pernapasan). Menurut keterangan pihak Helem Putih, beberapa perempuan dan anak-anak lainnya mengalami kesulitan bernapas.

Laporan tentang serangan gas terjadi saat pasukan Presiden Bashar al-Assad berperang melawan kelompok oposisi dalam upaya untuk menembus wilayah kantong yang terkepung tersebut. Dugaan yang muncul belakangan bukan yang pertama kalinya mencuat selama perang sipil Suriah.

Akhir tahun lalu, investigator kejahatan perang PBB menyimpulkan, pasukan Suriah telah sedikitnya 20 kali mengunakan senjata kimia selama enam tahun konflik di Suriah. Salah satunya berbentuk gas sarin yang dijatuhkan di Idlib pada April 2017 dan menewaskan 80 warga sipil.

Kendati demikian, rezim Bashar al-Assad berkali-kali membantah penggunaan senjata kimia tersebut. Mereka berkilah, gas tersebut sedianya milik pemberontak yang terkena misil pasukan pemerintah.

Ghouta Timur telah berada di bawah kontrol pemberontak sejak 2013. Sejak itu, Pemerintah Suriah telah memberantas pengepungan di pinggiran kota dalam upaya untuk mengusir mereka.

Seorang aktivis lokal mengatakan, penembakan terus-menerus pemerintah telah menewaskan setidaknya 16 warga sipil sejak Senin (26/2) pagi, di salah satu kota utama Ghouta Timur, Douma. Sepuluh dari mereka yang kehilangan nyawa kemarin berasal dari keluarga yang sama.

Sementara itu, sedikitnya 27 orang tewas pada Ahad (25/2) akibat gempuran pesawat tempur Suriah yang didukung Rusia dan menargetkan berbagai distrik dan kota di pinggiran Kota Damaskus. Serangan itu terjadi setelah Dewan Keamanan PBB memilih dengan suara bulat sebuah resolusi dan menyerukan gencatan senjata 30 hari di Suriah.

Pekan lalu, serangan udara mematikan dan tembakan artileri yang diluncurkan oleh pasukan Suriah yang didukung Rusia serta Iran memperburuk krisis kemanusiaan yang mengerikan di daerah kantong yang terkepung tersebut, yang menampung sekitar 400 ribu orang. Menurut Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), lebih dari 500 warga sipil kehilangan nyawa akibat kampanye pengeboman udara yang dimulai pada 18 Februari.

Perang sipil di Suriah bermula seiring Musim Semi Arab pada 2011. Warga Suriah saat itu menuntut pemakzulan rezim Bashar al-Assad yang telah berkuasa sejak 1988. Militer pemerintah menekan perlawanan itu secara berutal dan memunculkan kelompok-kelompok militan pemberontak.

Konflik kian parah karena melibatkan sentimen sektarian antara mayoritas warga Suriah yang bermazhab Sunni dan minoritas Syiah yang dekat dengan kekuasaan. Ratusan ribu orang telah tewas dalam perang sipil selama tujuh tahun Suriah, dan jutaan orang terpaksa melarikan diri dari negara tersebut.

Campur tangan Iran-Rusia yang mendukung rezim Assad serta Amerika Serikat dan negara-negara Arab yang mendukung pemberontak kian memperdalam perang sipil. Belum lagi kelompok-kelompok militan asing dari kedua sisi yang memasuki Suriah.

Empat kelompok utama gerilyawan berada di Ghouta Timur, yakni Tentara Islam, Failaq ar-Rahman, Ahra ash-Sham, dan Komite Pembebasan Levant (LLC) yang juga dikenal dengan nama Front an-Nusra yang memiliki hubungan dengan Alqaidah.

Satu pernyataan PBB baru-baru ini menggambarkan Ghouta Timur di Suriah sekarang, "Menjadi contoh hidup mengenai bencana kemanusiaan yang seluruhnya diketahui, dapat diramalkan, dan bisa dicegah yang tersebar di depan mata kita".

Jens Laerke, dari Kantor PBB bagi Koordinasi Urusan Kemanusiaan, menyatakan sesuai dengan keterangan beberapa sumber, korban tewas di wilayah tersebut sejak 19 Februari mendekati angka 300 orang. Ia mengatakan dalam taklimat di Palais des Nations, Jenewa, pekan lalu bahwa tujuh instalasi kesehatan dilaporkan terkena serangan pada 21 Februari.

"Selama 24 jam belakangan, pengeboman sengit dan pengeboman udara terhadap banyak permukiman di Ghouta Timur dilaporkan terus terjadi, yang mengakibatkan meninggalnya tak kurang dari 50 orang dan melukai sedikitnya 200 orang lagi," kata Jens Laerke, Senin (26/2) pagi.

Menurut pejabat PBB itu, pengeboman mortir dan serangan yang berpusat di darat dari Ghouta Timur juga menewaskan dan melukai banyak warga sipil di ibu kota Suriah, Damaskus. Alessandra Vellucii, kepala Dinas Penerangan PBB di Jenewa, juga mengutip Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura, bahwa kondisi kemanusiaan warga sipil di Ghouta Timur "menyedihkan".

"Ada kebutuhan mendesak bagi gencatan senjata guna menghentikan pengeboman gencar mengerikan terhadap Ghouta Timur, dan pengeboman mortir membabi-buta terhadap Damaskus," kata de Mistura. n antara ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement