Selasa 13 Mar 2018 15:11 WIB

Luka Anak-Anak Suriah Dikepung Peperangan

Perang Suriah berdampak luar biasa dan sangat brutal terhadap anak-anak

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Joko Sadewo
Anak-anak pengungsi bermain sepak bola di desa Jibreen selatan Aleppo, Suriah,
Foto: AP / Hassan Ammar
Anak-anak pengungsi bermain sepak bola di desa Jibreen selatan Aleppo, Suriah,

REPUBLIKA.CO.ID,  BEIRUT - PBB masih menyerukan agar perang terhadap anak-anak segera dihentikan, setelah peperangan di Suriah memasuki tahun ketujuh. Dari sekitar 10 juta anak-anak di Suriah, 8,6 juta di antaranya saat ini sangat membutuhkan bantuan.

Hampir enam juta anak mengungsi atau tinggal sebagai pengungsi, dan sekitar 2,5 juta lainnya terpaksa putus sekolah. Lebih dari tiga juta anak-anak masih berada dalam ancaman bahan peledak dan ranjau darat, bahkan meski konflik telah mereda di wilayah tempat tinggal mereka. Sekitar 40 persen dari korban tewas akibat ranjau darat adalah anak-anak.

PBB telah memverifikasi, sekitar 2.500 anak telah tewas terbunuh di sepanjang 2014 hingga 2017. Namun angka kematian anak-anak di Suriah diperkirakan jauh lebih tinggi dari angka resmi tersebut.

Syrian Observatory for Human Rights yang berbasis di Inggris telah mencatat ada 19.800 anak-anak yang terbunuh sejak konflik tersebut dimulai pada Maret 2011. Sebuah studi yang diterbitkan di Lancet pada Januari lalu menunjukkan, sedikitnya 13.800 anak telah terbunuh dari 2011 sampai 2016.

Sementara dalam dua bulan pertama di 2018, lebih dari 1.000 anak telah terbunuh atau terluka. "Perang terus berlanjut dengan dampak yang luar biasa dan sangat brutal terhadap anak-anak," kata Geert Cappelaere, direktur regional UNICEF untuk Timur Tengah dan Afrika Utara.

"Ini adalah perang terhadap anak-anak. Ribuan anak telah terbunuh, terus dibunuh. Puluhan ribu anak-anak telah terluka parah, banyak dari mereka akan membawa bekas luka seumur hidup," papar Cappelaere.

Meski ada beberapa zona de-eskalasi yang dibuat oleh pihak-pihak yang bertikai dalam konflik, kekerasan tampaknya masih terus memburuk. Hampir 400 ribu warga sipil masih terjebak di Ghouta Timur, dekat ibu kota Damaskus, saat pasukan pemerintah dan sekutu melakukan pemboman tanpa henti untuk merebut kembali daerah tersebut.

Save the Children, dalam sebuah laporan yang dikeluarkan pada Senin (12/3), mengatakan pengeboman yang terjadi di Ghouta timur sangat mengerikan. Serangan banyak menargetkan rumah-rumah warga sipil, lebih dari 60 sekolah, 24 rumah sakit, dan sejumlah fasilitas medis lainnya. Ribuan orang terpaksa tinggal di tempat penampungan bawah tanah.

Lebih jauh ke utara, ratusan ribu penduduk Kota Afrin juga menghadapi serangan dari pasukan Turki, yang bertujuan untuk mengusir milisi lokal Kurdi yang didukung AS. "Bagi ratusan ribu anak di Suriah, ini adalah titik terburuk konflik sejauh ini," ujar Save the Children dalam laporannya.

Seruan gencatan senjata dan jeda kemanusiaan telah diabaikan. Beberapa konvoi bantuan yang diizinkan masuk ke Ghouta timur telah kehabisan bantuan medis sebelum mereka berangkat ke daerah kantong pemberontak tersebut lagi.

Dalam laporannya, Save the Children mengatakan jumlah orang yang mengungsi telah meningkat 60 persen sejak zona de-eskalasi diumumkan pada Juli lalu. Sebanyak 250 anak-anak melarikan diri dari rumah mereka setiap jamnya.

Sebagai pengingat akan banyaknya korban perang saudara di Suriah yang mengerikan, sebuah pameran digelar di Beirut pada Senin (12/3) untuk memamerkan puisi yang ditulis oleh anak-anak pengungsi Suriah. Puisi-puisi itu diilustrasikan oleh seniman Lebanon dan Suriah yang berhasil menangkap rasa sakit yang dihadapi anak-anak di wilayah konflik.

Ola Mohammed, seorang gadis berusia 11 tahun dari Provinsi Rif dekat Damaskus, tampak dihantui oleh foto mendiang Aylan Kurdi. Aylan adalah seorang anak laki-laki Suriah berusia tiga tahun yang ditemukan tewas terdampar di pantai Turki pada 2016, setelah kapal yang ditumpanginya dan orang tuanya terbalik.

"Saya menyalahkan Anda, oh Laut ... Mengapa Anda menelan teman saya?" tulis Mohammed.

Dalam acara yang diselenggarakan oleh UNICEF itu, Bassel Mokdad (17 tahun) tampil memainkan biola dihadapan para penonton. Ia menderita lumpuh dari pinggang karena luka yang didapatnya saat terjadi serangan di Provinsi Daraa, Suriah selatan, pada 2013.

Mokdad, yang sekarang menggunakan kursi roda, mengatakan ia sempat melawan depresi dan periode isolasi diri setelah mengalami cedera. Dia kemudian memutuskan untuk merangkul masa depan dan menemukan sebuah tujuan hidup.

"Katakanlah saya lupa akan cedera perang saya. Saya berjalan lebih baik daripada orang yang bisa berjalan. Saya sekarang punya tujuan dan saya akan mengejarnya," ujar Mokdad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement