Ahad 22 Apr 2018 14:18 WIB

Korban Serangan Kimia di Douma Diduga Dikubur Diam-Diam

Penguburan diam-diam ini untuk mempertahankan bukti penting serangan kimia di Douma

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nidia Zuraya
Seorang anak dan pria memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di  Douma, Ghouta Timur, Damaskus, Suriah. Foto diambil pada 25 Februari 2018..
Foto: Bassam Khabieh/Reuters
Seorang anak dan pria memperoleh penanganan medis setelah terpapar gas beracun di Douma, Ghouta Timur, Damaskus, Suriah. Foto diambil pada 25 Februari 2018..

REPUBLIKA.CO.ID, DOUMA -- Sejumlah pria di Kota Douma, Suriah, menghabiskan malam mereka untuk menguburkan beberapa mayat. Mereka menggali tanah kering dengan peralatan seadanya.

Namun ini bukan penguburan biasa. Ketika selesai, mereka bukannya menandai kuburan-kuburan itu dengan batu nisan atau bunga, tetapi justru menutupinya dengan gulma dan kotoran.

Mayat-mayat yang dikubur diduga sebagian dari 48 korban serangan kimia yang terjadi di Douma pada 7 April lalu. Para penggali kuburan adalah penduduk setempat dan anggota kelompok pemberontak Jaish al-Islam yang berusaha mempertahankan bukti penting dari serangan itu.

Mereka berharap mayat-mayat tersebut bisa membantu tim penyidik Organisation for the Prohibition of Chemical Weapons (OPCW) untuk menetapkan bahan kimia apa yang digunakan dalam serangan. "Hanya tiga atau empat orang yang tahu di mana lokasi [kuburan] itu," ujar Brigadir Jenderal Zaher al-Sakat, mantan kepala OPCW Suriah yang membelot beberapa tahun lalu, kepada Telegraph.

Mereka dimakamkan tepat ketika mereka ditemukan. Akan mudah mendapatkan sampel dari rambut dan pakaian mereka, hingga akhirnya membuktikan [bahan kimia] apa yang digunakan," tambah dia.

Pada Sabtu (21/4), setelah menunggu seminggu untuk memastikan keamanan di Douma, tim penyidik OPCW akhirnya memasuki kota tersebut. Sembilan anggota tim dari OPCW harus mengumpulkan sampel dari Douma, dua minggu setelah serangan terjadi.

Penggali kuburan telah memberi tahu titik koordinat lokasi pemakaman para korban serangan kimia ke Raed Saleh, kepala White Helmet, kelompok penyelamat pertahanan sipil yang beroperasi di daerah oposisi. Saleh kemudian menyerahkan informasi itu ke OPCW.

Akan tetapi, wilayah penguburan mayat-mayat itu, yang awalnya berada di bawah kendali Jaish al-Islam, kini telah jatuh ke tangan Pemerintah Suriah. Sementara pemerintah belum mengetahui mengenai hal ini, OPCW masih berharap untuk diberikan akses ke lokasi.

Jerry Smith, mantan penyidik OPCW yang pernah bekerja di Suriah pada 2013, mengatakan kepada Sunday Telegraph bahwa tim penyidik tidak punya pilihan selain menunggu izin dari negara tuan rumah. Dalam kasus seperti ini mungkin ada pemangku kepentingan yang tidak ingin kebenaran itu muncul, kata Smith, yang kini mengelola RameHead Consulting International di Salisbury.

"Mereka memiliki kemampuan untuk menggunakan pengaruh pada penyelidikan," tambah dia. Namun menurutnya, bukti bahan kimia tidak mungkin sepenuhnya bisa dimusnahkan selama akses masuk untuk tim penyidik ditunda.

Smith menjelaskan, agen saraf seperti sarin biasanya cepat terdegradasi dalam kondisi lingkungan normal, namun dia mengatakan sarin juga dapat bertahan selama beberapa waktu. "Ada contoh-contoh sampel yang diambil di Halabja beberapa tahun setelah serangan Saddam (Hussein) yang menunjukkan digunakannya agen saraf. Sampel dengan jumlah mikro yang berukuran lebih kecil dari kepala peniti, bisa ditemukan terperangkap di tanah liat," paparnya.

Namun, keberadaan klorin dapat lebih sulit untuk ditemukan, terutama setelah jangka waktu yang lama. Sulit untuk membuktikan apakah bahan kimia itu digunakan dalam bentuk senjata, karena sering digunakan juga untuk banyak tujuan lain.

Dia menjelaskan, OPCW harus mengumpulkan tiga jenis bukti, yaitu sampel biologi dan lingkungan, pernyataan dari korban, dan bukti dokumenter seperti video dan gambar. Sejumlah warga yang berhasil melarikan diri ke Idlib kemungkinan akan ikut ditanyai.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement