Sabtu 19 May 2018 22:29 WIB

Koalisi Ulama Moqtada al-Sadr Menang Pemilu Irak

Perolehan suara cukup mengejutkan di tengah rendahnya angka partisipasi pemilih.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Ani Nursalikah
Ulama syiah Irak Moqtada al-Sadr bertemu dengan duta besar Turki, Yordania, Arab Saudi, Suriah dan Kuwait di Najaf, Irak, Jumat, 18 Mei 2018.
Foto: REUTERS/Alaa al-Marjani
Ulama syiah Irak Moqtada al-Sadr bertemu dengan duta besar Turki, Yordania, Arab Saudi, Suriah dan Kuwait di Najaf, Irak, Jumat, 18 Mei 2018.

REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Koalisi politik yang dipimpin ulama populis Moqtada al-Sadr berhasil meraih kemenangan dalam pemilihan umum di Irak, menurut pengumuman komisi pemilihan Irak pada Sabtu (19/5). Sadr adalah musuh lama Amerika Serikat (AS) yang juga menentang pengaruh Iran di Irak.

Sadr tidak bisa menjadi perdana menteri karena dia tidak mencalonkan diri dalam pemilihan. Koalisi Sairoon yang dipimpinnya berhasil meraih 54 kursi parlemen.

"Suara Anda adalah suatu kehormatan bagi kami. Kami tidak akan mengecewakan Anda," kata Sadr, beberapa saat setelah hasil resmi pemilu diumumkan pada Sabtu (19/5) pagi.

Victory Alliance, yang dipimpin Perdana Menteri Haider al-Abadi, berada di tempat ketiga dengan perolehan 42 kursi parlemen. Sementara koalisi Al-Fatih memenangkan 47 kursi.

Koalisi Al-Fatih dipimpin Hadi al-Amiri yang memiliki hubungan dekat dengan Iran. Ia juga memimpin kelompok paramiliter yang memainkan peran kunci dalam mengalahkan ISIS.

Hasil pemilu diumumkan seminggu setelah warga Irak melakukan pemungutan suara dalam pemilihan nasional. Perolehan suara cukup mengejutkan di tengah rendahnya angka partisipasi pemilih.

Memenangkan jumlah kursi terbesar tidak secara otomatis menjamin Sadr menjadi perdana menteri. Karena tidak ada koalisi elektoral yang memenangkan suara mayoritas, negosiasi untuk membentuk pemerintahan diperkirakan akan berlangsung selama berbulan-bulan.

Para pihak yang terlibat harus menyesuaikan diri mencoba membentuk koalisi yang cukup besar untuk mendapatkan suara mayoritas parlemen yang diperlukan untuk mengajukan calon.

Kemenangan dalam pemilu adalah perubahan nasib yang cukup mengejutkan bagi Sadr yang merupakan ulama Syiah. Sadr, yang pernah memimpin dua pemberontakan terhadap pasukan pendudukan AS, telah diremehkan selama bertahun-tahun oleh saingannya yang didukung Iran.

Kemenangan koalisi pimpinan Sadr dianggap sebagai teguran terhadap elite politik yang beberapa di antaranya diduga terlibat dalam kasus korupsi yang meluas. Sadr mempertahankan basis pendukung setianya yang muncul di tempat pemungutan suara di tengah apatisme nasional yang meluas.

Koalisi Sadr sangat menentang campur tangan asing di Irak, yang didukung kuat oleh Teheran dan Washington. Sadr berjanji akan membantu warga miskin yang menderita akibat perang dengan ISIS, dan membangun sekolah serta rumah sakit.

Sebelumnya pada Sabtu (19/5) Sadr telah bertemu dengan sekelompok duta besar dari negara-negara tetangga, termasuk Turki, Yordania, Suriah, Kuwait, dan Arab Saudi. Selama pertemuan itu Sadr menyerukan penguatan hubungan dengan negara-negara tetangga yang memiliki hubungan sejarah dan budaya yang kuat dengan Irak.

Sebelum pemilihan, Pemerintah Iran secara terbuka menyatakan tidak akan mengizinkan koalisi Sadr untuk memerintah. Namun hasil pemilu ternyata memberikan pukulan telak kepada Abadi, meski ia masih memiliki kesempatan untuk menjadi calon pemimpin.

Mayor Jenderal Iran, Qassem Soleimani, komandan operasi asing untuk Garda Revolusi Iran dan tokoh yang sangat berpengaruh di Irak, telah mengadakan pembicaraan dengan politisi di Baghdad untuk mempromosikan pembentukan kabinet baru yang akan mendapat persetujuan Iran.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement