Jumat 24 Apr 2020 14:41 WIB

Trump Menyebut Soal Menyuntikkan Disinfektan ke Manusia

Peneliti sedang melihat efek dari desinfektan manfaat sinar matahari

Rep: Puti Almas/ Red: Friska Yolandha
Warga berjemur. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan disinfektan dan sinar matahari mungkin dapat digunakan sebagai perawatan untuk menangani infeksi virus corona jenis baru (Covid-19). Dalam sebuah pernyataan, ia juga mengatakan bahwa hal ini dapat mengurangi ancaman virus tersebut. 
Foto: Antara/Ahmad Subaidi
Warga berjemur. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan disinfektan dan sinar matahari mungkin dapat digunakan sebagai perawatan untuk menangani infeksi virus corona jenis baru (Covid-19). Dalam sebuah pernyataan, ia juga mengatakan bahwa hal ini dapat mengurangi ancaman virus tersebut. 

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengatakan disinfektan dan sinar matahari mungkin dapat digunakan sebagai perawatan untuk menangani infeksi virus corona jenis baru (Covid-19). Dalam sebuah pernyataan, ia juga mengatakan bahwa hal ini dapat mengurangi ancaman virus tersebut. 

Dalam sebuah wawacara di Gedung Putih pada Kamis (23/4), Trump mengatakan para peneliti sedang melihat efek dari desinfektan dan berpikir apakah ini dapat disuntikkan ke orang-orang. Meski demikian, William Bryan dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengatakan tidak ada pertimbangan tentang hl itu. 

Baca Juga

Studi yang pernah dilakukan sebelumnya juga tidak menemukan bukti bahwa suhu yang lebih hangat dan kelembaban yang lebih tinggi di musim semi dan musim panas akan membantu mengurangi penyebaran virus corona jenis baru. Namun, dari penelitian terbaru ditemukan bahwa cahaya matahari memiliki efek yang kuat dalam membunuh virus di permukaan dan di udara.

Lebih lanjut Bryan mengatakan para ilmuwan telah melihat efek serupa dari suhu dan kelembaban yang lebih tinggi. Laboratorium biocontainment di Maryland juga sudah melakukan pengujian terhadap virus tersebut sejak Februari lalu.

“Virus ini berada dalam kondisi sekarat dengan paparan suhu yang lebih tinggi dan dari paparan kelembaban,” ujar Bryan, dilansir The Telegraph pada Jumat (24/4). 

Bryan mengatakan dengan lebih banyak pengetahuan terkait hal tersebut, ini dapat membantu banyak gubernur di AS membuat keputusan tentang bagaimana dan kapan akan membuka kembali perekonomian di negara-negara bagian. Namun, ia menekankan bahwa hasil yang muncul dari studi bukan berarti bisa menggantikan rekomendasi soscial distancing yang diterapkan untuk mencegah penyebaran Covid-19. 

Trump juga telah mendapat banyak pertanyaan tentang apakah berbahaya membuat orang berpikir bahwa mereka akan aman dengan pergi ke luar di tengah cuaca yang panas. Hal ini mengingat banyak orang telah meninggal di Florida akibat Covid-19. 

"Saya di sini untuk menyajikan ide-ide, karena kami ingin ide-ide untuk menyingkirkan masalah ini. Dan jika panas baik, dan jika sinar matahari baik, itu adalah hal yang hebat sejauh yang saya ketahui," kata Trump.

Pada awal April, para penasihat di bidang ilmiah mengatakan kepada Gedung Putih belum ada bukti yang baik bahwa panas dan kelembaban musim panas akan mengendalikan virus corona jenis baru. Terlebih, jika  langkah-langkah kesehatan masyarakat tidak dilanjutkan. 

Para peneliti dari National Academies of Sciences, Engineering and Medicine menganalisis studi yang dilakukan sejauh ini untuk menguji ketahanan virus di bawah kondisi laboratorium yang berbeda serta melacak di mana dan bagaimana virus corona jenis baru telah menyebar.

"Mengingat bahwa negara-negara yang saat ini berada dalam iklim 'musim panas', seperti Australia dan Iran, mengalami penyebaran virus yang cepat, penurunan kasus dengan peningkatan kelembaban dan suhu di tempat lain tidak boleh diasumsikan," tulis para peneliti. 

Selain itu, laporan tersebut mengutip kurangnya kekebalan global terhadap virus baru dan menyimpulkan jika ada efek suhu dan kelembaban pada penularan, mungkin tidak sejelas virus pernapasan lainnya yang setidaknya sudah ada. Para peneliti mencatat bahwa selama 10 pandemi flu sebelumnya, terlepas dari musim apa yang mereka mulai, semua memiliki gelombang kedua puncak sekitar enam bulan setelah virus pertama kali muncul.

"Kita harus berasumsi bahwa virus akan terus memiliki kapasitas untuk menyebar dan itu adalah harapan palsu untuk mengatakan ya, itu hanya akan menghilang di musim panas seperti influenza,” ujar Michael Ryan, ketua kedaruratan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement